MASALAH PENELITIAN

TUGAS

METODOLOGI PENELITIAN I

 

tentang

MASALAH PENELITIAN

 

logo-unp.Timbul 

 

 

Oleh:

Muhammad Riyadi

04233

 

 

JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2014

MASALAH PENELITIAN

1.        Pengertian Masalah

Sukardi (2009:21) mengatakan: Permasalahan dalam penelitian adalah kesulitan yang dirasakan oleh orang awam maupun para peneliti, permasalahan dapat juga diartikan sebagai sesuatu yang menghalangi tercapainya tujuan.

Sedangkan Punaji Setyosari secara umum mengatakan, suatu masalah didefinisikan sebagai keadaan atau kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Masalah sebagai gap antara kebutuhan yang diinginkan dan kebutuhan yang ada.

Dari dua definisi yang dikemukakan ahli tersebut, kita bisa mengetahui bahwa masalah penelitian adalah suatu kondisi dimana terjadinya kesenjangan antara yang diharapkan dengan fakta yang terjadi di lapangan. Sebagai contoh, diharapkan peserta didik dalam suatu kelas memperoleh nilai rata-rata 80 dalam ujian pelajaran, namun ternyata nilai rata-rata yang di capai peserta didik hanya 70, inilah yang di sebut dengan adanya kesenjangan. Rendahnya nilai rata-rata yang di capai peserta didik merupakan suatu masalah, karena nilai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang diterapkan misalnya adalah 75. Dengan demikian timbul pertanyaan, apa yang menyebabkan rendahnya nilai rata-rata tersebut?

Masalah terjadi apabila:

  1. Ada hambatan dalam memperoleh tujuan/mencapai sesuatu.
  2. Apabila kenyataan tidak sesuai dengan harapan (tidak sesuainya antara das-soein ”kenyataan”dengan das-sollen”seharusnya”.
  3. Das-sein: Kenyataan, realitas empirik, fakta, hasil observasi, bukti dilapangan, di lembaga pendidikan dan seterusnya.
  4. Das-sollen: Teori, dalil, konsep dan seterusnya, sesuatu yang sifatnya ideal.

Menurut (Nasution, 2006:16), ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh para calon peneliti dalam mengangkat permasalahan penelitian, antara lain:

  1. Apakah masalah itu sesuatu yang baru, menarik serta menimbulkan rasa ingin tahu pada calon peneliti?
  2. Apakah masalah itu sesuai dengan jurusan, kemampuan, dan latar belakang pendidikanya?
  3. Apakah dengan metode tertentu dapat dikumpulkan data yang diperlukan?
  4. Apakah calon peneliti dapat menanggung segala pembiayaannya?
  5. Apakah penelitian itu mengandung bahaya, ancaman, atau resiko lainya?
  6. Apakah calon peneliti dapat menyelesaikannya dalam waktu yang telah tersedia?

Selain pertimbangan tersebut di atas, ada beberapa hal yang juga harus dipertimbangkan secara ilmiah, apakah penelitian itu memberikan sumbangan kepada perkembangan pengetahuan, antara lain:

  1. Masalah itu hendaknya bertalian dengan konsep-konsep yang pokok.
  2. Masalah itu hendaknya mengembangkan atau memperluas cara-cara mentes suatu teori.
  3. Masalah itu memberi sumbangan kepada pengembangan metodologi penelitian dengan menemukan alat, teknik, atau metode baru.
  4. Masalah itu hendaknya memanfaatkan konsep-konsep teori, atau data dan teknik-teknik dari disiplin ilmu yang bertalian.
  5. Masalah itu hendaknya dituangkan dalam desain yang cermat dengan uraian yang teliti mengenai variabel-variabelnya serta menggunakan metode-metode yang paling serasi. (Nasution, 2006:17)

2.        Jenis Masalah

Berdasarkan level of explanation suatu gejala, maka secara umum terdapat tiga bentuk rumusan masalah yaitu rumusan masalah deskriptif, komparatif, dan asosiatif.

  1. Rumusan masalah deskriptif adalah suatu rumusan masalah yang memandu peneliti untuk mengungkapkan atau memotret situasi sosial yang akan diteliti secara menyeluruh, luas, dan mendalam.
  2. Rumusan masalah komparatif adalah rumusan masalah yang memandu peneliti untuk membandingkan antara konteks sosial atau domain satu dibandingkan dengan yang lain.
  3. Rumusan masalah asosiatif  atau hubungan adalah rumusan masalah yang memandu peneliti untuk mengkonstruksi hubungan antara situasi sosial atau domain satu dengan yang lainnya.

Rumusan masalah asosiatif dibagi menjadi tiga yaitu hubungan simetris, kausal, dan reciprocal atau interaktif. Hubungan simetris adalah hubungan suatu gejala yang munculnya bersamaan sehingga bukan meupakan hubungan sebab akibat atau interaktif. Hubungan kausal adalah hubungan yang bersifat sebab dan akibat. Selanjutnya, hunbungan reciprocal adalah hubungan yang saling mempengaruhi.

Dalam penelitian kualitatif hubungan yang diamati atau ditemukann adalah hubungan yang bersifat reciprocal atau interaktif.

Dalam penelitian kuantitatif, ketiga rumusan masalah tersebut  terkait dengan variabel penelitian, sehingga rumusan masalah penelitian sangat spesifik, dan akan digunakan sebagai panduan bagi peneliti untuk menentukan landasan teori, hipotesis, instrument, dan teknik analisa data.

Dalam penelitian kualitatif, rumusan masalah yang merupakan fokus penelitian masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah peneliti masuk lapangan atau situasi sosial tertentu. Namun demikian setiap peneliti baik peneliti kuantitatif maupun kualitatif harus membuat rumusan masalah.

Pertanyaan penelitian kualitatif dirumuskan dengan maksud untuk memahami gejala yang kompleks dalam kaitannya dengan aspek-aspek lain (in context). Peneliti yang menggunakan pendekatan kualitatif, pada tahap awal penelitiannya, kemungkinan belum memiliki gambaran yang jelas tentang aspek-aspek masalah yang akan ditelitinya. Ia akan mengembangkan fokus penelitian sambil mengumpulkan data. Proses seperti ini disebut ”emergent design” . Hal ini sebagaimana yang tersirat dalam Lincoln, Yovana S; Guba, egon; Naturalictic Inquiry, Sage Publication, Beverly hills, Londaon, 1984, hal. 102

Dalam penelitian kualitatif, Pertanyaan penelitian kualitatif tidak dirumuskan atas dasar definisi operasional dari suatu  variabel penelitian. Pertanyaan penelitian kualitatif dirumuskan dengan maksud untuk memahami gejala yang kompleks dalam kaitannya dengan aspek-aspek lain (in context).

3.        Kriteria Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian disebut research problem atau dikenal juga dengan istilah pertanyaan penelitian (research question) yang digunakan untuk menjadi panduan dalam menyusun instrument penelitian. Pertanyaan research problem ini disusun setelah peneliti melakukan pembatasan masalah, sehingga pertanyaan penelitian terfokus pada masalah yang ingin dibuktikan atau diteliti lebih lanjut.

Hal yang yang penting dan perlu dikerhatikan oleh calon peneliti setelah menemukan masalah adalah, apakah masalah yang akan diangkat memenuhi karakteristik masalah yang baik. Ada beberapa kriteria masalah penelitian yang baik, antara lain:

  1. Topik atau judul menarik
  2. Pemecahan masalah benar-benar bermanfaat bagi orang-orang dalam lapangan pekerjaan atau bidang tertentu.
  3. Masalah harus merupakan hal baru
  4. Masalah harus mengandung rancangan yang lebih komplek.
  5. Harus dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang diinginkan
  6. Tidak bertentangan dengan etika dengan moral

Selain itu, rumusan masalah harus:

  1. Rumusan harus jelas dan tegas.
  2. Tidak ambiguitas.
  3. Mengekspresikan hubungan antara dua variabel atau lebih.

Tuckman 1988 (dalam Djojosuroto dan Trijanto 2010:9) menambahkan rumusan masalah yang baik adalah menyatakan hubungan antara dua variabel atau lebih (menurut penulis tidak harus), dinyatakan dalam bentuk kalimat tanya,atau  alternatif yang secara implisit mengandung pertanyaan. Misalnya tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan apakah ada hubungan antara  … dengan … yaitu;

  1. Perumusan masalah atau pertanyaan penelitian merupakan tahap akhir pada penemuan masalah setelah peneliti memilih bidang dan pokok masalah yang diteliti.
  2. Kriteria penelitian yang baik menghendaki rumusan masalah atau pertanyaan penelitian yang jelas dan tidak ambiguitas. Agar memudahkan peneliti dalam menentukan konsep-konsep teoritis yang ditelaah dan memilih metode penguji data yang tepat.
  3. Masalah penelitian sebaiknya dinyatakan dalam bentuk pertanyaan yang mengekspresikan secara jelas hubungan antara dua variabel atau lebih.
  4. g.    Pertanyaan harus layak dan dapat diteliti sebagai upaya untuk mencari jawaban/ solusi (feasible).
  5. Jawaban bersifat critical incidence artinya dapat member kontribusi bagi pengembangan ilmu (minimal bagi peneliti).
  6. Bisa diukur, bersifat konseptual (ada teori yang dapat dijadikan acuan), sehingga dapat diukur (measurable) dan mudah dilaksanakan (manageable). (Maksum Mukhtar. dkk.  Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Cirebon : STAIN Cirebon, 2007, hal 47).

Meski demikian dalam jurnal internasional masalah penelitian seringkali disusun dalam bentuk narasi tujuan penelitian. Rumusan masalah dalam suatu penelitian dapat berupa lebih dari suatu pertanyaan.

4.        Sumber Masalah

Sumber masalah bisa saja diperoleh dari:

  1. Literatur: Buku, Jurnal, tax-Data base.
  2. Literatur tidak dipublikasikan: Makalah-makalah, seminar, Thesis, Disertasi, Kertas kerja.

Selain itu, ide masalah dapat diperoleh dengan:

  1. Formal
    1. Metode analog, menggunakan pengetahuan tertentu untuk masalah bidang lain.
    2. Metode Renovasi, memperbaiki atau mengganti komponen teori atau metode yg kurang relevan.
    3. Metode dialektis, metode mengajukan usulan pengembangan teori atau metode yg telah ada.
    4. Metode Morfologi, metode analisis berbagai kemungkinan kombinasi masalah penelitian yg saling berhubungan.
    5. Metode Dekomposisi, membagi masalah dalam elemen yg lebih spesifik misal masalah Brand ke brand loyality konsumen.
    6. Metode Agregasi, penelitian berbagai bidang untuk masalah penelitian yang lebih kompleks.
    7. Metode Informal:
      1. Metode Perkiraan atau Intuisi, masalh penelitian berdasakan intuisi bisnis.
      2. Metode Fenomenologi, Observasi informal fakta.
      3. Metode Konsensus, berdasar konsensus praktik bisnis.
      4. Metode pengalaman, berdasar pengalaman orang atau organisasi.

Selain itu, untuk memperoleh masalah dalam penelitian, dapat dilaksanakan melalui penelusuran beberapa sumber, antara lain:

  1. Pengalaman dan pengetahuan
  2. Kepustakaan yang berhubungan dengan bidang studi kita
  3. Mata kuliah-mata kuliah yang pernah diprogramkan
  4. Jurnal, buku-buku, majalah-majalah, dan abstrak-abstrak.
  5. Skripsi, tesis, disertasi
  6. Profesor-profesor, teman.

Untuk dapat menemukan masalah penelitian dari sumber-sumber tersebut di atas, perlu adanya dukungan sikap seorang peneliti, yaitu sikap mandiri dalam menemukan dan mengolah permasalah penelitian. Memang bukan suatu hal yang mudah, akan tetapi bukan hal yang terlalu sulit juga. Sikap kemandirian akan dapat dicapai oleh peneliti apabila peneliti bersifat aktif dalam mencari dan menemukan masalah.

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh peneliti agar memiliki sikap yang mandiri, antara lain:

  1. Kepekaaan peneliti dalam menangkap fenomena problematik yang terjadi dalam praktek, baik dalam labolatorium maupun masyarakat.
  2. Kesiapan peneliti akan pengetahuan teori dan informasi penelitian-penelitian terdahulu di bidang ilmu yang ditekuni.
  3. Ketekunan peneliti mengikuti perkembangan mutakhir pada bidang ilmu yang ditekuni.

Selanjutnya, sumber masalah dapat dilihat dari mana datangnya. Sumber masalah penelitian bisa muncul dari tiga hal:

Masalah Yang Ada di Manusianya Sendiri (People and Problem).

Kita harus hati-hati supaya tidak terjebak ke masalah di sekitar manusia yang bukan penelitian. Tapi juga jangan “saklek”, karena masalah manusia yang tadinya bukan masalah penelitian bisa kita “goyang sedikit” menjadi masalah penelitian. Contoh, mahasiswa punya masalah pokok yaitu “kekurangan uang”. Ini bisa kita “konversi” menjadi masalah penelitian misalnya menjadi:

  1. Mendeteksi raut muka mahasiswa tidak punya uang dengan face recognition system.
  2. Model bisnis di Internet dengan modal kecil untuk mahasiswa.

Masalah di Cara, Teknik dan Struktur Kerja (Program).

Teknik dan struktur kerja yang bermasalah tentu juga bisa menjadi masalah penelitian. Contoh, dosen-dosen yang sangat sibuk ternyata kesulitan menemukan satu waktu yang pas untuk meeting bulanan di universitas. Nah ini jadi masalah penelitian, pendekatannyanya nanti kita bisa kembangkan satu aplikasi scheduling dengan sedikit sistem pakar didalamnya yang secara otomatis memberikan beberapa alternatif waktu meeting yang pas untuk semua.

Fenomena yang Terjadi (Phenomenon).

Fenomena yang ada di sekitar kita juga bisa menjadi masalah penelitian yang menarik. Contoh, fenomena bahwa situs portal yang dikembangkan di perusahaan-perusahaan ternyata sepi pengunjung. Nah ini adalah sebuah fenomena, untuk meningkatkan traffic, misalnya bisa dengan memainkan beberapa teknik supaya search engine mau menengok situs kita, ini sering disebut dengan Search Engine Optimization. Nah dari sini kita sudah dapat judul: “Mengembangkan situs portal traffic tinggi dengan teknik Search Engine Optimization (SEO)”.

Supaya masalah penelitian yang kita pilih benar-benar tepat, biasanya masalah perlu dievaluasi. Evaluasi masalah penelitian biasanya berdasarkan beberapa parameter di bawah ini:

  1. Menarik.
    Masalah yang menarik membuat kita termotivasi untuk melakukan penelitian dengan serius.
  2. Bermanfaat.
    Penelitian harus membawa manfaat baik untuk ilmu pengetahuan maupun peningkatan kesejahteraan dan kualitas kehidupan manusia. Penelitian juga diharapakan membawa manfaat bagi masyarakat dalam skala besar (secara nasional maupun internasional), maupun secara khusus di komunitas kita (kampus, sekolah, kelurahan, dsb). Hindari penelitian yang tidak membawa manfaat kepada masyarakat.
  3. Hal Yang Baru.

Ini hal yang cukup penting dalam penelitian, bahwa penelitian yang kita lakukan adalah hal baru, solusi yang kita berikan adalah solusi baru yang apabila kita komparasi dengan solusi lain, bisa dikatakan lebih efektif, murah, cepat, dsb. Bisa juga pembaharuan ini diwujudkan dengan perbaikan dari sistem dan mekanisme kerja yang sudah ada. Hindari redundant research, meneliti hal yang sama persis dengan yang dilakukan oleh orang lain. Karena hal tersebut termasuk plagiasi skripsi.

  1. Dapat Diuji (Diukur).

Ini biasanya hal yang terlupakan, supaya proses penelitian kita sempurna, masalah penelitian beserta variabel-variablenya harus merupakan sesuatu yang bisa diuji dan diukur secara empiris. Kalau kita melakukan penelitian korelasi, maka korelasi antara beberapa variabel yang kita teliti juga harus diuji secara ilmiah dengan beberapa parameter.

  1. Dapat Dilaksanakan.

Hal ini juga merupakan faktor penting. Masalah yang bagus dan berkualitas,menjadi lucu dan naif kalau akhirnya secara teknik penelitian tidak bisa dilakukan. Dapat dilakukan ini berkaitan erat dengan keahlian, ketersediaan data, kecukupan waktu dan dana.

  1. Merupakan Masalah Yang Penting.

Hal ini sedikit sulit mengukurnya, tapi paling tidak ada gambaran di kita bahwa jangan sampai melakukan penelitian terhadap suatu masalah yang tidak penting.

  1. Tidak Melanggar Etika.

Yang terakhir adalah masalah etika. Penelitian harus dilakukan dengan kejujuran metodologi, prosedur harus dijelaskan kepada obyek penelitian, tidak melanggar privacy, publikasi harus dengan persetujuan obyek penelitian, tidak boleh melakukan penipuan dalam pengambilan data maupun pengolahan data. Hal ini dijelaskan Wahono dalam  http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Teknik%20Identifikasi% 20Masalah%20dalam%20Penelitian&&nomorurut_artikel=200.

 

KEPUSTAKAAN

 

Djojosuroto dan Trijnato. 2010. Metodologi Penelitian Ilmia. Yogyakarta: Graha Cendekia.

http://expresisastra.blogspot.com/2013/09/pengertian-penelitian-dan-masalah-penelitian.html. Diakses tanggal 20 Februari 2014 Jam 16.41.

Lincoln Yovana S, Guba Egon. 1984. Naturalictic Inquiry. London: Sage Publication

Maksum Mukhtar. dkk.  2007. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Cirebon: STAIN Cirebon

Punaji Setyosari.  2010. Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

S. Nasution. 2006. Metode Reseach. Jakarta: Ikrar Mandiri Abadi

Sukardi. 2009. Metodologi Penelitian Pendidikan, Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta: Bumi Aksara

Wahono.http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=Teknik%20Identifikasi% 20Masalah%20dalam%20Penelitian&&nomorurut_artikel=200. Diakses tanggal 20 Februari 2014 15:04.

MANUSIA, KEMANUSIAAN, DAN PENDIDIKAN

 MANUSIA

KEMANUSIAAN

DAN PENDIDIKAN

 

Gambar 

 

 

Oleh:

 

MUHAMMAD RIYADI

04233

 

 

 

JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2014

MANUSIA, KEMANUSIAAN, DAN PENDIDIKAN

A.      Pandangan Umum tentang Manusia

Prayitno (2009:6) menyatakan manusia adalah makhluk luar biasa, di bawah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, dengan kekuatan dan keterbatasannya, manusia dapat berbuat apa saja atas lingkungannya, baik lingkungan sekitar maupun lingkungan yang lebih uas sampai menjangkau perut bumi dan ruang angkasa.

Pemenuhan kebutuhan dan pengembangan diri manusia itu tampaknya memang dapat dilaksanakan dari, untuk, dan oleh manusia itu sendiri. lnilah pernyataan yang luar biasa. Pernyataan bahwa “manusia dengan segenap perkembangan budayanya adalah dari manusia, untuk manusia, dan oleh manusia”, mengimplikasikan bahwa manusia memang hebat, bisa berbuat dan membuat apa raja, untuk kehidupan kemanusiaannya, sesuai dengan kebutuhan dan kemauannya. Pernyataan ini dikaji lebih lanjut.

Pertama, semua yang ada di dunia adalah untuk manusia. Lebih dari itu, bumi, matahari, bulan, bintang gemilang beserta planet dan satelit-satelitnya, bahkan alam semesta seisinya adalah untuk manusia. Untuk siapa lagi kalau bukan untuk manusia, karena tidak ada makhluk selain manusia yang memerlukan semuanya itu; hanya manusia yang menyadari tentang adanya dan gunanya dunia dan alam semesta; dan hanya manusia yang mampu mengolah dan menggunakan dunia dan alam semesta seisinya itu untuk keperluan kehidupan kemanusiaannya dalam arti yang seluas-luasnya.

Kedua, perkembangan, kemajuan, dan budaya manusia memang terjadi oleh manusia. Oleh siapa lagi, mengingat hanya manusialah yang memiliki potensi dan pemikiran, yang mampu mengembangkan ber­bagai kekuatan, daya dan upaya untuk memenuhi kebutuhan serta hasrat kehidupannya. Memang oleh manusialah isi dunia dan alam semesta diubah dan diolah serta digunakan untuk kepentingan manusia.

Ketiga, inilah yang menjadi permasalahan. Apakah memang segala yang diperbuat oleh manusia dan diperuntukkan bagi manusia itu benar-benar Bagi manusia; seluruhnya dari manusia? Disadari dan dapat diterima akal sehat bahwa banyak hal memang berasal dari manusia. Berbagai kaidah keilmuan dan teknologi berasal dari buah pikiran manu­sia; berbagai hasil karya merupakan buah dari tangan manusia; berbagai aturan nilai dan moral tumbuh dan berkembang dari kebijakan yang di­ukir manusia; dan sebagainya. Manusia memang bisa dan semakin bisa menghasilkan dari dirinya sendiri berbagai produk, bahkan memproduksi semua hal untuk memenuhi kebutuhan manusia. Karya-karya besar dan hebat, bahkan yang amat monumental dimunculkan dari manusia, dari waktu ke waktu.

Manusia berbicara tentang manusia. Siapakah manusia itu? Apa yang dimaksud dengan peri kemanusiaan yang menjadi jati diri manu­sia? Banyak pakar telah memikirkan jati diri manusia. Pandangan lama antara lain mengemukakan:

  1. Plato : Manusia pada hakikatnya ditandai oleh adanya kesatuan antara apa yang ada pada dirinya, yaitu pikiran, kehendak, dan nafsu.
  2. Hsun Tsu : Manusia pada hakikatnya adalah jahat, oleh karenanya untuk mengembangkannya diperlukan latihan dan disiplin yang keras, teru­tama disiplin kepada tubuhnya.
  3. Agustinus : Manusia merupakan kesatuan jiwa dan badan, yang dimotivasi oleh prinsip kebahagiaan; kesemuanya itu diwarnai oleh dosa warisan dari pendahulunya.
  4. Descartes : Manusia terdiri dari unsur dualistik, jiwa dan badan. Jiwa tidak bersi­fat bendawi, abadi dan tidak dapat matt sedangkan badan yang bersifat bendawi dapat sirna, dan menjadi sasaran ilmu fisika. Di an­tara badan dan jiwa terdapat pertentangan yang berkelanjutan tak terjembatani; badan dan jiwa itu masing-masing mewujudkan diri dalam berbagai hal sendiri-sendiri. Namun demikian, hakikat manu­sia adalah jiwanya.

Pandangan yang lebih baru tentang manusia, antara lain dikemu­kakan oleh para pemikir sebagai berikut.

  1. Freud : Manusia tidak memegang nasibnya sendiri. Tingkah laku manusia di­tujukan untuk memenuhi kebutuhan biologis dan insting-instingnya, dan dikendalikan oleh pengalaman-pengalaman masa lampau, dan ditentukan oleh faktor-faktor interpersonal dan intrapsikis. ()
  2. Adler : Manusia tidak semata-mata bertujuan memuaskan dorongan7do­rongan dirinya, tetapi juga termotivasi untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan pemenuhan kebutuhan dalam mencapai sesuatu. Tingkah laku individu ditentukan oleh lingkungan, pembawaan, dan individu itu sendiri.
  3. Rogers : Manusia adalah makhluk rasional, tersosialisasikan, dan dapat me­nentukan nasibnya sendiri. Dalam kondisi yang memungkinkan, manusia akan mampu mengarahkan diri sendiri, maju, dan menjadi in­dividu yang positif dan konstruktif.
  4. Skinner : Manusia adalah makhluk reaktif yang tingkah lakunya dikontrol oleh faktor-faktor dari luar dirinya. Tingkah laku manusia dipelajari ketika individu berinteraksi dengan lingkungannya, melalui hukum-hukum belajar.
  5. Glasser : Tindakan manusia didorong untuk memenuhi kebutuhan dasar (balk psikologikal maupun fisiologikal), yang sama untuk semua orang. Ke­butuhan fisiologikal adalah segala sesuatu untuk mempertahankan kesadaran organisme, sedangkan kebutuhan psikologikal terarah un­tuk mencintai dan dicintai, serta berguna bagi diri sendiri dan orang lain.
  6. Ellis : Manusia memiliki kemampuan inheren untuk berbuat secara rasi­onal ataupun tidak rasional. Berpikir dan merasa itu sangat dekat dan bergandengan satu sama lain: pikiran seseorang dapat menjadi perasaannya, dan sebaliknya.
  7. Sartre : Manusia dipandang sebagai nol yang me-nol-kan diri, pour soi yang dirinya itu bukan merupakan objek, melainkan subjek, dan secara ko­drati dirinya itu adalah bebas.

B.       Kemanusiaan Manusia

1.    Harkat dan Martabat Manusia

Hartono (2009:1) menyatakan harkat dan martabat manusia membedakan manusia dari makhluk-makhluk lainnya di seluruh alam semesta, dimana harkat dan martabat manusia (HMM) yang mengandung butir-butir bahwa manusia adalah: a) makhluk yang terindah dalam bentuk dan pencitraannya; b) makhluk yang tertinggi derajatnya; c) makhluk yang beriman dan bertaqwa kepada Tuahn Yang Maha Kuasa; d) khalifah dimuka bumi; dan e) pemilik Hak-hak Asasi Manusia (HAM)

a.    Hakikat Manusia

Syukur (2010:2) menyatakan memahami hakekat manusia merupakan inti dari memuliakan  kemanusiaan manusia. Berkenaan dengan itu, banyak ahli yang memberikan pernyataan tentang siapakah sesungguhnya manusia itu, diantaranya;

1)   Zais (1976) mengemukakan pandangannya tentang hakekat manusia dengan empat pertanyaan berikut; (1) apakah manusia berupa jiwa/atau, (2) apakah manusia itu tetap atau berubah?, (3) apakah manusia itu bebas atau tidak?, (4) apakah manusia itu baik atau buruk?

2)   Zanti Arbi (1988) berpendapat bahwa manusia mempunyai karakteristik biologis tertentu yang membedakannya dari hewan, yaitu; (a) berjalan tegak, (b) ia mempunyai ibu jari yang dapat diletakkannya secara bertentangan, (c) ia mempunyai otak yang tinggi perkembangannya dari pada otak hewan lain manapun juga, (d) ia dilengkapi dengan organ-organ vokal yang memungkinkannya untuk berbicara, dan (e) anak-anaknya secara relatif lama tidak berdaya.

3)   Prayitno (1994, 2005) menyebutkan bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling indah dan paling tinggi derajatnya. Manusia diciptakan untuk menjadi khalifah atau pemimpin di bumi bahkan di seluruh alam semesta.

b.   Dimensi Kemanusiaan

Dalam kerangka HMM secara menyeluruh, aktualisasi kehidupan manu­sia berdasarkan hakikatnya itu, tidaklah berlangsung dengan sendirinya dan pula tidak sekedar tampak seperti apa adanya.

Seseorang (individu manusia) yang sejak kelahirannya (dan dari penciptaannya) dibekali dengan hakikat manusia itu, untuk pengem­bangan diri dan kehidupan selanjutnya, ia dilengkapi dengan dimensi­dimensi kemanusiaan yang tidak lain adalah juga cakupan wilayah HMM yang melekat pada diri individu itu. Dimensi-dimensi itu adalah:

1)   Dimensi kefitrahan

2)   Dimensi keindividualan

3)   Dimensi kesosialan

4)   Dimensi kesusilaan

5)   Dimensi keberagamaan

Secara grafis dimensi-dimensi tersebut dapat digambarkan de­ngan diagram berikut.

Gambar

Gambar 1
Dimensi Kemanusiaan

Kelima dimensi kemanusiaan saling terkait. Dimensi kefitrahan menduduki posisi sentral yang mendasari keempat dimensi Iainnya. Dimensi keindividualan, kesusilaan dan kesosialan sating terkait antara ketiganya, dan ketiganya itu terkait dengan dimensi kefitrahan dan ke­beragamaan; sedangkan dimensi keberagamaan merupakan bingkai dan sekaligus wajah dart keseluruhan aktualisasi kehidupan individu dengan kelima dimensinya itu.

1)   Dimensi Kefitrahan

Kata kunci yang menjadi isi dimensi kefitrahan adalah kebenaran dan keluhuran. Dengan dua kata kunci ini dapat dimaknai bahwa indi­vidu manusia itu pada dasarnya bersih dan mengarahkan dirt kepa­da hal-hal yang benar dan luhur, serta menolak hal-hal yang salah,tidak berguna dan remeh, serta tidak terpuji. Kandungan dimensi kefitrahan ini dapat dibandingkan dengan makna teori tabula rasa (John Locke).

Teori tabula rasa menyatakan bahwa individu ketika dilahirkan ibarat kertas putih, bersih dan belum bertuliskan apapun. Dalam hal kebersihan hal itu menjadi juga ciri kefitrahan individu: in­dividu dilahirkan dalam keadaan bersih; teori tabularasa sama den­gan hakikat dimensi kefitrahan.

Dengan kefitrahannya itu, individu memang pada dasarnya, sejak dilahirkan, dalam keadaan bersih. Namun, kondisi belum bertuliskan apapun sebagaimana dinyatakan oleh teori tabularasa, tidaklah menjadi ciri dimensi kefitrahan yang dimaksudkan itu. Di dalam dimensi kefitrahan telah tertuliskan kai­dah-kaidah kebenaran dan keluhuran yang justru menjadi ciri kand­ungan utama dimensi ini. Jadi dengan demikian dimensi kefitrahan tidak sama dengan tabula rasa menurut John Locke.

2)   Dimensi Keindividualan

Kata kunci yang terkandung di dalam dimensi keindividualan adalah potensi dan perbedaan. Di sini dimaksudkan bahwa setiap individu pada dasarnya memiliki potensi, baik potensi fisik maupun mental­psikologis, seperti kemampuan intelegensi, bakat dan kemampuan pribadi lainnya. Potensi ini dapat berbeda-beda antarindividu. Ada individu yang berpotensi sangat tinggi, tinggi, sedang, kurang dan kurang sekali. Kenyataan keilmuan yang menampilkan isi dimensi keindividualan ini adalah apa yang sering digolongkan ke dalam kaid­ah-kaidah perbedaan individu (individual differences) dan penampi­Ian statistik berupa kurva (balk kurva normal ataupun kurva tidak normal).

3)   Dimensi Kesosialan

Kata kunci kandungan dimensi kesosialan adalah komunikasi dan ke­bersamaan. Dengan bahasa (balk bahasa verbal maupun non-verbal, lisan maupun tulisan) individu menjalin komunikasi atau hubungan dengan individu lain. Di samping itu individu juga menggalang ke­bersamaan dengan individu lain dalam berbagai bentuk, seperti per­sahabatan, keluarga, kumpulan dan organisasi (non formal dan formal). Ilmu-ilmu seperti Sosiologi, Psikologi Sosial, Politik, Teknologi Komunikasi, Manajemen mendasarkan kajiannya pada kemampuan manusia dalam berkomunikasi dan menggalang kebersamaan.

4)   Dimensi Kesusilaan

Kata kunci kandungan dimensi kesusilaan adalah nilai dan moral. Dalam dimensi ini digarisbawahi kemampuan dasar setiap individu untuk memberikan harga atau penghargaan terhadap sesuatu, dalam rentang penilaian tertentu. Sesuatu dapat dinilai sangat tinggi (misal­nya dengan diberi label balk), sedang (dengan label cukup), atau ren­dah (dengan label kurang). Rentang penilaian itu dapat dipersempit, dapat pula diperlebar. Misalnya rentang boik-cukup-kurang dapat diperlebar menjadi baik sekali-baik-cukup-kurang-kurang sekali. Pe­nilaian itu dapat menggunakan angka-angka mengacu pada ukuran kuantitatif dalam bentuk angka, dapat pula menggunakan ukuran kualitatif dalam bentuk pernyataan verbal.

Penilaian yang dibuat oleh sekelompok individu tentang sesuatu yang sangat penting untuk kehidupan bersama sering kali ditetapkan sebagai standar baku. Standar baku inilah yang selanjutnya dijadi­kan patokan untuk menetapkan boleh tidaknya sesuatu hal dilaku­kan oleh individu (terutama individu yang berada di dalam kelompok yang dimaksud). inilah yang disebut moral. Individu dalam kelompok yang bersangkutan hares mengikuti ketentuan moral tersebut. Ke­tentuan moral itu biasanya diikuti oleh sanksi atau bahkan hukuman bagi pelanggarnya. Sumber moral adalah agama, adat, hukum ilmu, dan kebiasaan.

5)   Dimensi Keberagamaan

Kata kunci kandungan dimensi keberagamaan adalah iman dan taqwa. Dalam dimensi ini terkandung pemahaman bahwa setiap individu pada dasarnya memiliki kecenderungan dan kemampuan untuk mempercayai adanya Sang Maha Pencipta dan Maha Kuasa serta mematuhi segenap aturan dan perintah-Nya. Keimanan dan ketaqwaan ini dibahas dalam agama yang dianut oleh individu. Kitab suci agama serta tafsir yang mengiringinya memuat kaidah-kaidah keimanan dan ketaqwaan tersebut. Kajian tentang agama-agama di dunia menambah wawasan berkaitan dengan dipakai dan dipraktik­kannya dimensi keberagamaan di dalam kehidupan manusia.

c.    Pancadaya

Kelima dimensi kemanusiaan tersebut merupakan satu kesatuan, salting terkait dan berpengaruh. Kelimanya pada dasarnya menyatu, berdina­mika dan bersinergi sejak awal kejadian individu, dalam perkembangan dirinya dari waktu ke waktu, sampai akhir kehidupannya. Kelimanya menuju kepada perkembangan individu menjadi manusia seutuhnya. Untuk memungkinkan perkembangan individu ke arah yang dimaksud itu manusia dikaruniai oleh Sang Maha Pencipta lima jenis bibit pengem­bangan, yang dalam ini disebut pancadaya, yaitu:

1)   Daya takwa merupakan basis dan kekuatan pengembangan yang secara hakiki ada pada diri manusia (masing-masing individu) untuk mengi­mani dan mengikuti perintah dan larangan dari Tuhan Yang Maha Esa.

2)   Daya cipta bersangkut-paut dengan kemampuan akal, pikiran, fungsi kecerdasan, fungsi otak. Dalam buku-buku teks daya cipta ini sering kali disebut sebagai komponen kognitif pada diri individu, dengan penekanan lebih besar pada unsur-unsur dinamik dan kreativitas yang ada di dalamnya.

3)   Daya rasa mengacu kepada kekuatan perasaan atau emosi dan sering disebut sebagai unsur afektif. Hal-hal yang terkait dengan suasana hati dan penyikapan termasuk ke dalam daya rasa.

4)   Daya karsa merupakan kekuatan yang mendorong individu untuk melakukan sesuatu, secara dinamis bergerak dari satu posisi ke posisi lain, balk dalam arti psikis maupun keseluruhan diri. Kemampuan atau keinginan berbuat atau will, dan semangat (termasuk di dalamnya pra­karsa) merupakan isi daya karsa. Daya karsa ini mengarahkan individu untuk mengaktifkan dirinya, untuk berkembang, untuk berubah dan ke­luar dari kondisi status-quo.

5)   Daya karya mengarah kepada dihasilkannya produk-produk nyata yang secara langsung dapat digunakan atau dimanfaatkan balk oleh diri sendiri, orang lain dan/atau lingkungan. Produk-produk yang berupa barang-barang konsumsi, produk-produk teknologi dan seni, produk­produk keilmuan, berbagai jenis pelayanan dan penampilan, serta ber­bagai produk budaya lainnya, dari produk yang paling sederhana sampai yang paling canggih dan karya-karya agunksepanjang peradaban ma­nusia dari zaman ke zaman, semua termasuk ke dalam cakupan daya karya.

2.    HMM dan Kehidupan

Manusia ditakdirkan untuk hidup dan bekembang, sesuai dengan har­kat dan martabat kemanusiaannya itu. Menilik semua unsur HMM (yang di dalamnya terhimpun hakikat manusia, dimensi kemanusiaan, dan pancadaya ketiganya tergabung di dalam Trilogi HMM yang semuanya positif dan normatif), dapat dipahami bahwa tujuan diciptakan dan dihidupkannya manusia adalah tujuan yang positif dan normatif, yang tidak lain adalah kebahagiaan manusia itu sendiri.

 Gambar

Gambar 2
Trilogi Harkat dan Martabat Manusia (HMM)

Dengan modal HMM yang secara laten ada pada dirinya, individu manusia berkembang sejak kelahirannya menuju kehidupan yang mem­bahagiakan, dunia dan akhirat. Dalam hal ini perlu mendapat perhatian sepenuhnya bahwa perkembangan yang dimaksudkan itu tidak ter­jadi dengan sendirinya, melainkan perlu diupayakan dengan seoptimal mungkin. Pengembangan yang berhasil akan membawa kebahagiaan dalam spektrum yang luas, sedangkan kegagalannya akan menimbul­kan dampak yang cukup besar atau bahkan matapetaka bagi kehidupan kemanusiaan, balk bagi individu secara sendiri-sendiri, secara berkelom­pok besar atau pun kecil ataupun bahkan bagi kemanusiaan dalam skala yang terhitung menyeluruh.

Pengembangan komponen ketakwaan dalam HMM secara tepat, berhasil dan optimal akan membawa individu menjadi orang-orang yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebaliknya, keal­paan atau bahkan penyimpangan pengembangan komponen ketakwaan akan mengakibatkan langkanya ciri-ciri keimanan dan ketakwaa pada diri individu; pudarnya kehidupan beragama atau bahkan yang tampil dalam kehidupan justru anti ke-Tuhanan, yaitu keingkaran terhadap kaidah­kaidah ke-Tuhan-an atau bahkan ateisme meskipun komponen ketak­waan itu masih tetap ada dan menjadi kekuatan laten di dalam HMM, tetapi komponen itu menjadi kerdil atau mandul.

C.      Manusia dan Pendidikan

1.    Pemuliaan Kemanusiaan Manusia

Penampilan kemanusiaan manusia sehari-hari tampak melalui aktua­lisasi dimensi-dimensi kemanusiaannya, yaitu dimensi kefitrahan, keindi­vidualan, kesosialan, kesusilaan, dan keberagamaan. Penampilan kelima dimensi kemanusiaan ini sesungguhnyaiah merupakan aktualisasi ke­seluruhan spektrum HMM yang telah terkembangkan berkat pengem­bangan pancadaya melalui pendidikan.

 Gambar

Gambar 3
Arah Pengembangan HMM

Keterangan:

Garis penuh     :

Saling berhubungan antara Hakikat Manusia, Dimensi Kemanusiaan, dan Pancadaya.

Garis putus-putus`:

(1)  Pengaruh pengembangan Pancadaya melalui pen­didikan dalam merealisasi dan mengisi Komponen Hakikat Manusia

(2)   Pengaruh pengembangan Pancadaya melalui pen­didikan dalam merealisasi dan mengisi Komponen Dimensi Kemanusiaan

(3)   Interaksi pengembangan komponen Hakikat Ma­nusia dan Dimensi Kemanusiaan melalui pengem­bangan Pancadaya yang terjadi berorientasi pada kedua komponen tersebut.

Upaya pendidikan yang berfokus pada pengembangan Pancadaya dan Dimensi Kemanusiaan, dengan dasar Hakikat Kemanusiaan, akan se­cara langsung mengisi Dimensi-dimensi Kemanusiaan yang hasil akhirnya terwujud dalam kehidupan sehari-hari. Aktualisasi ini akan menampilkan derajat sosok keutuhan individu manusia sesuai dengan HMM yang di­maksudkan. Menjadi manusia seutuhnya dalam kehidupan (dunia dan akhirat) adalah tujuan penciptaan manusia oleh Sang Maha Pencipta. Untuk tujuan itulah hakikat manusia dilengkapi dengan lima dimensi disertai pancadaya sebagai perangkat instrumental dasar bagi pengem­bangan seluruh komponen HMM. Hanya dengan pengembangan panca­daya itu seoptimal mungkin manusia seutuhnya akan dapat tercapai. Pengembangan yang dimaksud adalah melalui pendidikan.

Dahulu pernah ada ungkapan bahwa pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia. Rumusan ini, di satu sisi mendegradasikan ma­nusia itu sendiri, dan di sisi lain belum menjelaskan pengertian; arah, ataupun karakteristik pendidikan yang dimaksudkan itu.

Pertama, de­ngan menggunakan kata-kata memanusiakan manusia, tidakkah berarti bahwa pendidik menganggap peserta didik, terutama peserta didik yang masih muda, yang menjalani proses pendidikan itu sebagai sekedar colon manusia.yang belum menjadi atau bahkan bukan manusia; atau setidak­tidaknya kemanusiaannya masih lemah, masih rendah, masih kurang berarti, sehingga perlu ditingkatkan; sehingga perlu dimanusiakan Pa­dahal, sejak awal kejadiannya manusia sudah memiliki hakikat dengan kelengkapan lima dimensi kemanusiaan dan pancadaya itu. HMM yang mengandung hakikat dan lima dimensi kemanusiaan serta pancadaya itu merupakan modal dasar kemanusiaan. Dengan demikian, anak yang baru lahirpun, bahkan yang masih berada di dalam rahim ibu, adalah ma­nusia yang sudah ber-HMM, dan HMM-nya itu perlu dimuliakan, tidak boleh didegradasikan.

Kedua, apa artinya memanusiakan manusia? Apa arti manusia itu sendiri? Manusia yang mana? Padahal manusia di mana-mana adalah satu, yaitu makhluk yang memiliki HMM sebagaimana disebutkan di atas. Dari manusia yang ber-HMM diarahkan menjadi manusia seutuh­nya dengan HMM yang dikembangkan secara optimal. Caranya ialah dengan memuliakan kemanusiaan itu, melalul upaya pendidikan.

Dalam bahasan tentang pendidikan, pernah ada pula istilah yang digunakan untuk mengidentifikasi karakteristik manusia, yaitu istilah anima educandum, yang bermakna bahwa “manusia adalah binatang yang perlu dididik, dapat dididik, dan dapat mendidik sesamanya”. Sekali lagi, dengan istilah itu, manusia didegradasikan, diturunkan derajatnya sampai disepertikan binatang. Pendegradasian seperti itu tidak dapat diterima dalam pembahasan tentang pendidikan, apalagi dalam praktik pendidikan. Selanjutnya, dalam membahas pendidikan, balk teori, prak­sis maupun praktiknya, daripada membandingkan manusia dengan bina­tang, atau menganggap manusia muda belum jadi manusia, adalah jauh lebih positif dan menguntungkan menggunakan konsep dasar tentang manusia dengan HMM-nya. Inilah konsep yang meletakkan manusia pada posisi yang sesungguhnya, yaitu posisi yang paling tinggi, di bawah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Pendidikan adalah upaya memuliakan posisi tertinggi manusia itu dengan HMM-nya.

2.    Penampilan dan Pengembangan Dimensi Kemanusiaan

Pendidikan merupakan wahana bagi pengembangan manusia. Pendidi­kan menjadi media bagi pemuliaan kemanusiaan manusia yang tercer­min di dalam HMM dengan hakikat manusia, dimensi kemanusiaan dan pancadaya-nya itu. Pendidikan seperti ini dilaksanakan oleh manusia dan untuk manusia, serta hanya terjadi di dalam hubungan antarmanusia.

Sebagaimana disebutkan di atas, segenap spektrum kemanusiaan itu menyatu, berdinamika dan bersinergi dalam Trilogi HMM. Dalam upaya pengembangan manusia melalui pendidikan, komponen HMM dikembangkan secara serempak, seirama, agar segenap spektrum HMM secara seimbang mencapai keoptimalan perkembangannya. Bayangkan, apabila masing-masing komponen berkembang atau dikembangkan sendiri-sendiri. Ketimpangan pengembangan yang dimaksudkan itu akan tertampilkan melalui aktualisasi kelima dimensi kemanusiaan yang dapat digambarkan sebagai berikut.

Dominasi berlebihan dalam pengembangan dimensi keindividu­alan akan menjadikan individu orang-orang yang hebat, pintar dan me­miliki inteligensi rasional yang amat tinggi, namun egois, individualistik, asosial dan amoral, serta ateis. Kata hatinya beku dan hanya mau menang sendiri. Sebaliknya, penonjolan dimensi kesosialan akan menjadikan in­dividu seorang altruis yang tulus, namun (mohon maaf) tolol, tidak pa- ham apa yang dilakukannya, apa yang dimaui dan akan ke mana is pergi, apa arti hidup yang dijalaninya. la menyukai dan mencintai orang-orang lain, tetapi tidak tahu apa sebenarnya dan dari mana datangnya cinta itu. Apalagi indahnya cinta atau siapa itu Sang Maha Mencintai.

Selain hal tersebut di atas, penekanan dimensi kesusilaan secara tidak wajar menghasilkan individu utopis, penghayal untuk kehidupan yang semuanya indah, ideal keteraturannya, ketentramannya, keadilan­nya, ketinggian nilai budayanya, kebahagiaan yang sempurna, semua orang mengikuti nilai dan moral yang diterima bersama, dan sebagainya. Tidak ada pertentangan, semuanya tenang, aman, tentram, tanpa tahu dari mana datangnya dan bagaimana caranya membuat semua suasana indah itu terjadi.

Dominasi dimensi keberagaman yang ekstrim akan menegasikan faktor akal, faktor sosial, dan faktor etika sebagai sumber kehidupan dan perkembangan manusia itu sendiri. Jangan-jangan hidup ini tidak dipan­dang sebagai jalan untuk kebahagiaan dunia-akhirat, melainkan sekedar sebagailalan untuk math Jangan-jangan nilai akal, sosial dan moral itu, yang sebenarnya dengan sangat kental menjadi isi kaidah-kaidah ke­agamaan, dianggap sebagai racun yang akan menjegal kehidupan beragama. Kata hatipun, yang menjadi kandungan inti dimensi kefitrahan, menjadi beku.

Sebenarnyalah, kelima dimensi dengan pancadayanya itu dapat dikembangkan secara serempak dan bersinergi sesamanya. Keindividu­alan menyokong tumbuhnya kesosialan yang penuh dengan nilai-nilai kesusilaan. Komunikasi dan kebersamaan menunjang berkembangnya potensi individu sesuai dengan nilai-nilai dan moral yang berlaku. Nilai dan moral yang dianut dalam kehidupan bersama secara dinamis, tetapi konsisten, akan memberikan kepastian berkembangnya potensi individu secara jelas, terarah dan optimal. Kata hati yang menjadi fitrah manusia menemukan penyaluran yang tepat, positif dan dinamis bagi berkem­bangnya kebenaran yang memenuhi kaidah akal, sosial dan moral. Akal individu, aspek-aspek sosial dan moralnya mengarah kepada kebenaran dan keluhuran yang dicita-citakan oleh dimensi kefitrahan.

Dalam kondisi tertentu, sebenarnya hanya melalui berkembang­nya secara sinergis dan optimal keempat dimensi saja (kefitrahan, keindividualan, kesosialan, dan kesusilaan) individu akan dapat hidup sehat. Demikian jugs kiranya manusia secara keseluruhan. Manusia akan mampu menjalani dan memperkembangkan kehidupannya dengan ilmu, teknologi dan seni yang sangat tinggi dan semakin tinggi (dimensi keindi­vidualan); dengan komunikasi dan kebersamaan yang semakin alturistik dan sating menghormati (dimensi sosial); dengan ketentuan moral yang semakin serasi penuh kebijakan dan kebajikan (dimensi kesusilaan); ser­ta dengan penghormatan akan kebenaran dan keluhuran yang semakin kental (dimensi kefitrahan). Namun, perlu dicatat bahwa hidup sehat semacam itu sebetulnya belum sempurna.

Tanpa diaplikasikannya kaidah-kaidah keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (dimensi keberagamaan), hidup em. pat dimensi itu barulah hidup di dunia, belum menjangkau kehidupan di akhirat. Masalah kehidupan akhirat terkait langsung dengan isi dimensi keberagamaan. Dimensi kelima ini akan menyempurnakan kehidupan manusia seutuhnya. Manusia-manusia utuh seperti itu tinggi akal piki­rannya, sejuk dan dinamis kehidupan sosialnya, teguh dan konsisten dalam memegang nilai-nilai dan moral yang mereka anut, kuat dalam mengukir kebenaran dan keluhuran budi, serta taat dalam keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dimensi kelima membingkai kehidupan individu yang bersumber dari kefitrahannya, keindividual­annya, kesosialan, dan kesusilaannya yang telah berkembang dengan penuh. Dari arah yang lain, pengembangan keempat dimensi yang ter­dahulu itu, kalau mau ditingkatkan mutu dan kesempurnaannya, periu mendapat arah dan energi yang terkandung di dalam dimensi kelima, keberagamaan.

3.    Pengembangan Limas Kehidupan Melalui Pendidikan

 Gambar

Gambar 4

Lima Kehidupan yang Berkembang

Keterangan :

Fase I               : Fase kelahiran

Fase II             : Fase Pendidikan Usia Dini

Fase III            : Fase Pendidikan Selanjutnya

Limas dalam gambar beralaskan segi empat yang dapat membesar dengan alasnya meluas dan puncaknya meninggi. Alas limas terbentuk dari ke­beradaan dimensi kefitrahan, keindividualan, kesosialan, dan kesusilaan. Alas limas ini mengambarkan kemungkinan berkembangnya secara si­nergis keempat dimensi tersebut. lnilah alas limas kehidupan dunia. Vo­lume limas tersebut dapat ditingkatkan, makin lama makin tinggi dengan memposisikan peran titik puncak limas, yaitu dimensi keberagamaan. Apabila kehidupan hanya mengembangkan keempat dimensi dengan mengabaikan dimensi kelima, maka kehidupan itu hanya sekedar ke­hidupan mendatar di dunia, sedangkan kehidupan akhiratnya kerdil atau mandul.

Melalui pendidikan yang memuliakan kemanusiaan manusia ke­hidupan individu tumbuh membentuk limas-limas kehidupan yang alas­nya semakin meluas dan puncaknya semakin meninggi, sehingga seluruh isinya semakin membesar. Pembesaran isi limas itu berkat berkembang­nya secara sinergis pancadaya yang terfokus pada pengisian seluruh di­mensi kemanusiaan dengan dasar hakikat kemanusiaan. Optimalisasi pengembangan pancadaya akan menghasilkan besaran limas yang op­timal pula.

Pada Fase I terjadi pembekalan pengembangan komponen HMM dengan unsur-unsur hakikat, dimensi dan pancadaya kemanusiaan, dan pada Fase II serta Fase III terjadi pengembangan HMM melalui pemu­Iiaan kemanusiaan manusia, yang Iebih intensif khususnya melalui pen­didikan. Fase demi fase tersebut hendaknya menghasilkan aktualisasi HMM yang secara signifikan semakin maju.

 

 

KEPUSTAKAAN

Hartono, Rudi. 2009. Harkat Dan Martabat Manusia (HMM) Dan Implikasinya Terhadap Pendidikan dalam (http://rudi-stain-krc.blogspot.com/2009/02/harkat-dan-martabat-manusia-hmm-dan.html) diakses tanggal 15 Januari 2014.

Click to access yarmis.pdf

http://books.google.co.id/books?id=w9DtLvg_zB0C&pg=PT20&lpg=PT20&dq=buku+dasar+teori+dan+praksis+pendidikan&source=bl&ots=nny4T5w8Mo&sig=BcJ0GSEbxYKks7fgrTEBFczyp7Y&hl=id&sa=X&ei=bIEBU7XrEYK4rgegl4CwBg&ved=0CE4Q6AEwBg#v=onepage&q=buku%20dasar%20teori%20dan%20praksis%20pendidikan&f=false

Prayitno. 2009. Dasar Teori dan Praksis Pendidikan. Padang: Grasindo

Syukur, Yarmis. 2010. Pengakuan Harkat dan Martabat manusia dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Artikel Tidak Diterbitkan . Padang: FIP UNP

Pemimpin

  1. Pemimpin adalah orang yang diikuti kata-kata dan perbuatannya.Seseorang diakui sebagai pemimpin bila kepadanya diberikan kepercayaan. Kepercayaan adalah pilar utama pemimpin. Kepercayaan adalah kombinasi dari:
    • Kompetensi
    • Integritas
    • Kedekatan

    Ketiga faktor itu meningkatkan tingkat kepercayaan.

  2. Pemimpin dan pemimpi bedanya di huruf N. N-nya adalah Nyali.
  3. Pemimpin pada dasarnya adalah pemimpi. Pemimpi yang mimpi-mimpinya dipercaya dan diikuti. Pemimpi yang mampu mengonversi mimpi jadi realita bisa disebut sebagai pemimpin.
  4. Pemimpin selalu disorot.Pemimpin adalah manusia yang harus selalu menyadari kemanusiaannya dan sempurna bukanlah atribut yang manusiawi. Karena itu pemimpin harus selalu sadar bahwa ia berada dalam sorotan di saat ia jauh dari kesempurnaan.
  5. Pemimpin tidak mengejar penghormatan, tapi ia menjaga kehormatan.Penghormatan itu memang bisa dipanggungkan dan bisa dibeli karenanya mudah didapat. Sementara kehormatan itu tidak untuk diperjualbelikan. Jika kita menengok pada sejarah negeri besar ini maka kita temui catatan gemilang sebuah generasi.

    Republik ini didirikan oleh orang-orang yang berintegritas. Integritas itu membuat mereka jadi pemberani dan tak gentar hadapi apa pun.

  6. Pemimpin berani tegakkan integritas.Berani perangi “jual-beli” kebijakan dan jabatan, dan pemimpin yang mau bertindak tegas kepentingan rakyat “dijarah” oleh mereka yang punya akses. Republik ini butuh pemimpin yang bernyali dan menggerakkan dalam menebas penyeleweng tanpa pandang posisi atau partai.

    Republik ini perlu pemimpin yang bisa mengajak semua untuk mendorong yang macet, membongkar yang buntu, dan memangkas berbenalu. Pemimpin yang tanggap memutuskan, cepat bertindak, dan tidak toleran pada keterlambatan.

  7. Pemimpin bisa menentukan suasana.Pemimpin adalah dirigen yang menghadirkan energi, nuansa, dan aurora dalam sebuah orkestra. Pemimpin hadir membawa suasana. Memberikan arah dan greget.
  8. Pemimpin berorientasi pada gerakan.Pemimpin menjadikan semua merasa ikut memiliki tanggung jawab, merasa ikut memiliki masalah. Pendekatannya adalah gerakan bukan program sehingga semua merasa terpanggil untuk terlibat. Pemimpin yang bisa membuat semua merasa perlu berhenti lipat tangan, lalu terpanggil untuk gandeng tangan dan turun tangan.
  9. Pemimpin mengirim harapan.Kita memerlukan pemimpin yang:
    • Menginspirasi
    • Membukakan perspektif baru
    • Menyodorkan kesadaran baru
    • Menyalakan harapan jadi lebih terang

    Pemimpin yang membuat semua terpanggil untuk turun tangan, untuk bekerja bersama meraih cita-cita bersama. Pemimpin yang kata-kata dan perbuatannya menjadi pesan solid yang dijalankan secara kolosal.

PROFESIONALISME BIMBINGAN DAN KONSELING DI SEKOLAH

PROFESIONALISME BIMBINGAN DAN KONSELING DI SEKOLAH

 

Oleh:

Muhammad Riyadi

 

LATAR BELAKANG

Bimbingan dan Konseling merupakan pelayanan yang menunjang pelaksanaan pendidikan di sekolah, karena program-program bimbingan dan konseling meliputi aspek-aspek tugas perkembangan individu, khususnya menyangkut kawasan kematangan personal dan emosional, sosial pendidikan serta kematangan karir. Guru BK atau Konselor Sekolah guru yang memiliki standar kualifikasi  akademik konselor dalam satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan nonformal adalah Sarjana Pendidikan (S-1) dalam bidang Bimbingan dan Konseling atau berpendidikan Profesi Konselor.

Saat ini perkembangan bimbingan dan konseling di Indonesia masih belum bisa berdiri lebih tegak, dan masih melakukan pencarian bentuk kerja professional. Hal ini dipaparkan oleh Nurhudaya ( 2005 : 503 ) :

Pada saat ini konseling di Indonesia belum sampai pada kondisi yang mapan, namun harus sudah menyesuaikan diri dengan perubahan global yang dipicu oleh kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, kemudahan transportasi, dan ‘hilangnya’ batas-batas struktural yang mengkotak-kotakan manusia berdasarkan Negara atau wilayah. Orientasi pendekatan, strategi bantuan, kurikulum bantuan, sampai pada bagaimana konselor dipersiapkan merupakan sederet isu yang harus direspon oleh para pengembang teori, peneliti, dan praktisi di bidang konseling.

 

Perkembangan bimbingan dan konseling di Indonesia sudah cukup lama, berawal dari kebijakan pemerintah pada tahun 1960-1970 yang menetapkan bimbingan dan konseling di masukkan ke dalam kegiatan sekolah untuk menunjang misi sekolah mencapai tujuan pendidikannya. Periode berikutnya, pada tahun 1975 terbentuk sebuah organisasi profesi yang bernama IPBI (sekarang berubah menjadi ABKIN) hasil dari konvensi nasional bimbingan konseling pertama di Malang

Jika dilihat dari peta perkembangan bimbingan dan konseling baik dari sisi perkembangan profesi, maupun sebagai kajian keilmuan, sudah semestinya bimbingan dan konseling di Indonesia sudah mempunyai bentuk kerja profesional yang jelas. Namun sampai detik ini kejelasan bentuk kerja profesional baru di dunia pendidikan yaitu sebagai konselor sekolah, walaupun pada kenyataannya pelaksanaan di lapangan masih terseok-seok dan bingung, karena ketidak jelasan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis layanan BK di sekolah.

Keluhan-keluhan yang datang dari para guru pembimbing di lapangan cukup menyedihkan. BK telah berkembang relatif lama dan diharapkan berkembang ke arah yang lebih profesional. Namun, kenyataan di lapangan sekarang, BK baru dilirik sebelah mata. Bahkan pelecehan atau menganggap gampang BK di sekolah masih banyak terjadi. Beberapa julukan BK yang kurang baik masih tetap menempel misalnya Guidence and Counseling atau GC diplesetkan menjadi “guru cicing”. Jam BK atau BP yang diberikan kepada siswa diplesetkan dengan “boleh keluar” atau “boleh pulang”. Bahkan tugas guru BK pun masih menjadi sang pengadil atau polisi sekolah yang harus mencari-cari kesalahan siswa. Selain itu masih banyak permasalahn BK di sekolah-sekolah salah satunya adalah bimbingan dan konseling dibatasi pada hanya menangani masalah yang bersifat insidental, bimbingan dan konseling hanya untuk klien-klien tertentu saja, bimbingan dan konseling bekerja sendiri, konselor harus aktif sedangkan pihak lain pasif, menganggap pekerjaan bimbingan dna konseling dapat dilakukan oleh siapa saja, menganggap hasil pekerjaan bimbingan dan konseling harus segera dilihat.

Secara profesional bimbingan dan konseling dapat berdiri sendiri, namun dalam konteks perkembangannya di Indonesia bimbingan konseling yang dintegrasikan dalam pendidikan akan terkait dengan sejumlah aturan pemerintah tentang pendidikan. Sebuah ironi jika BK yang sudah menjadi sebuah profesi masih dipandang sebelah mata bahkan dianggap kurang penting, hanya karena ketidak jelasan JUKLAK dan JUKNIS yang ada di lapangan (sekolah).

 

 

PERMASALAHAN

Bimbingan dan konseling di Indonesia masih belum mendapatkan apresiasi yang bagus, kenyataan di lapangan (sekolah) para guru pembimbing banyak mendapatkan sorotan, kritikan, bahkan tidak sedikit cemoohan. Guru Bimbingan dan Konseling yang diharapkan mampu membantu siswa dari aspek psikologis, pengembangan diri, masalah pribadi, masalah belajar, masalah sosial, dan masalah karir justru malah menjadi polisi sekolah, satpam sekolah, atau bahkan tukang cukur sekolah, yang kerjaannya menghukum siswa yang terlambat, menggunting rambut siswa yang terlalu panjang, dan banyak lagi tugas-tugas guru BK yang sangat jauh dari apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang guru BK/ Konselor.

Permasalahan tersebut tidak hanya dari kualitas tenaga bimbingan dan konseling, namun juga dari segi sarana dan prasarana bimbingan dan konseling yang disiapkan oleh sekolah. Ruangan bimbingan dan konseling acap kali hanyalah ruangan-ruangan parasit yang menumpang pada ruang guru atau ruang tata usaha. Bahkan juga kadang gudang-gudang yang tidak terpakailah yang kemudian disulap menjadi ruangan BK tanpa memperhatikan lagi standar ruang bimbingan dan konseling yang seharusnya. Selain itu munculnya persepsi negatif tentang BK adalah karena tidak diketahuinya fungsi,  arah dan tujuan bimbingan di sekolah atau tidak disusunnya program BK secara terencana. Dapat juga disebabkan oleh ketidaktahuan akan tugas, peran, fungsi, dan tanggung jawab guru BK itu sendiri.

Keberadaan guru BK yang tidak memiliki latar belakang pendidikan bimbingan dan konseling sebenarnya telah disadari oleh pemerintah. Terbukti, melalui Kementrian Pendidikan Nasional, pemerintah menerbitkan Permendiknas No. 27 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor. Pada peraturan tersebut tercantum sejumlah peraturan khusus untuk konselor di sekolah. Permendiknas No. 27 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor di Pasal 1 Ayat 1 menyatakan bahwa untuk dapat diangkat sebagai konselor, seseorang wajib memenuhi standar kualifikasi akademik dan kompetensi konselor yang berlaku secara nasional. Kemudian penyelenggara pendidikan yang satuan pendidikannya mempekerjakan konselor wajib menerapkan standar kualifikasi akademik dan kompetensi konselor.

Dengan adanya peraturan tersebut maka guru Bimbingan dan konseling yang ada di sekolah harus berlatar belakang pendidikan bimbingan dan konseling. Hal ini tentu saja akan berimplikasi pada perbaikan kualitas pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah oleh para konselor profesional. Pada peraturan tersebut juga dijelaskan bahwa Penyelenggara pendidikan yang satuan pendidikannya mempekerjakan konselor wajib menerapkan standar kualifikasi akademik dan kompetensi konselor  sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri paling lambat 5 tahun setelah Peraturan Menteri ini mulai berlaku. Artinya, di tahun 2013 ini guru yang bertugas sebagai konselor sekolah di seluruh Indonesia harus benar-benar mempunyai kualifikasi akademik yang dibuktikan dengan latar belakang pendidikan bimbingan dan konseling.

Pada tahun 2003, eksistensi BK semakin baik dan mulai diperhatikan. UU No. 20/ 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 1 ayat 6 menyebutkan bahwa pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.

Isu profesionalisasi hampir mengenai semua jenis profesi, setiap profesi dituntut meningkatkan mutu layanan, kinerja dan kualitas tenaga profesinya. Profesionalitas sebuah profesi dapat dilihat dari sertifikasi, akreditasi, sistem pendidikan dan latihan profesi, dan lembaga/organisasi profesi yang menjadi identitas sebuah profesi, faktor-faktor tersebut yang nantinya akan menumbuhkan kepercayaan publik pada  sebuah profesi termasuk profesi bimbingan dan konseling.

Terhitung sampai tahun 2003,  baru sekitar 10 persen konselor yang memperoleh sertifikat resmi dari Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN). Artinya, hanya 183 orang itu yang berhak menyelenggarakan bimbingan konseling dan pelatihan bagi masyarakat umum secara resmi (Kartadinata, 2003 ; www.KCM.com).

Secara hukum bagi para konselor sekolah tidak memerlukan sertifikasi dari ABKIN, dengan mengantongi gelar kesarjaan S-1 pada program pendidikan bimbingan dan konseling, memberikan asas legal bagi para konselor sekolah untuk memberikan layanan bimbingan konseling di sekolah. Namun di lapangan sekarang ini masih banyak ditemui sejumlah sekolah yang tidak memiliki konselor sekolah yang mempunyai pendidikan bimbingan dan konseling. Disinilah perlunya para konselor memahami aspek politik yang mengatur kebijakan profesi, ABKIN seharusnya bekerjasama dengan pemerintah untuk melindungi profesi bimbingan dan konseling, dalam hal menyeleksi para calon konselor sekolah.

Profesionalisasi BK juga harus memperhatikan kualitas lembaga pendidikan yang menghasilkan konselor yang profesional. Muatan kurikulum dalam lembaga pendidikan para calon konselor, harus mengintegrasikan standar kompetensi konselor, sehingga dalam proses pembinaan konselor profesional dilakukan secara berkesinambungan dan tersistematis dalam kurikulum yang diberlakukan.

Saat ini program pendidikan yang ada terdiri jenjang S-1, S-2, S-3, sedangkan untuk pendidikan profesi memiliki jenjang tersendiri, namun program ini diperuntukan bagi lulusan S-1 bimbingan dan konseling. Kebijakan dalam pengelolaan pendidikan profesi pun masih belum begitu jelas dan terstandar, sejauh ini program pendidikan profesi baru diselenggarakan oleh Prodi BK Universitas Negeri Padang, dan Program BK Pasca Sarjana Universitas Pendidikan Indonesia. ABKIN seharusnya bisa lebih tegas dalam hal ini, karena ada satu hal yang penting bagi sebuah profesi yaitumendapatkan kepercayaan masyarakat (Public Trust). Bigs& Blocher  (1986, Suherman, 2003:84) memaparkan tiga komponen yang harus dimiliki oleh sebuah profesi, yaitu : 1). Memiliki kompetensi dan keahlian yang disiapkan melalui pendidikan dan latihan khusus, 2). Ada perangkat aturan untuk mengatur perilaku profesional dan melindungi kesejahteraan publik, 3). Para anggota profesi akan bekerja dan memberikan layanan dengan berpegang teguh pada standar profesi.

Poin kedua menunjukan pada kita bahwa sebuah profesi harus memiliki keketatan aturan karena hal tersebut berhubungan dengan perlindungan kesejahteraan. Kepercayaan publik yang diinginkan oleh setiap profesi ditinjau dari kejelasan regulasi yang terkait dengan program pendidikan, stnadar kompetensi profesional, dan regulasi yang mengatur perilaku profesional konselor (kode etik).

Hal ini harus di awali dengan kejelasan program pendidikan konselor dan program pendidikan profesi konselor yang terstandar secara nasioanal oleh ABKIN, sehingga tidak ada lagi blok dalam pengembangan profesi ini baik dalam pengembangan keilmuan atau dalam praktik layanan. Kebutuhan akan program layanan bimbingan dan konseling saat ini bukan hanya datang dari dunia pendidikan saja, namun bidang-bidang lain seperti dunia usaha dan industri, kemasyarakatan dan lembaga pernikahan, pelayanan sosial, dan bidang-bidang lain yang yang memiliki objek utama individu pun menjadi lahan garapan profesi bimbingan dan konseling.

Oleh karena itu kebijakan dari ABKIN dalam mengembangkan profesi bimbingan dan konseling harus bisa membaca ke arah sana, di mana kebijakan ini diberlakukan kepada lembaga pendidikan yang mendidik para calon konselor, dan program pendidikan pasca sarjana dan pendidikan profesi, sehingga kebutuhan dari masyarakat atas keberagaman kebutuhan dari berbagai aspek kehidupan bermasyarakat dapat dilayani oleh para konselor yang kompeten dibidangnya masing-masing.

 

PEMBAHASAN

Profesi Bimbingan dan Konseling

Profesi bimbingan konseling adalah suatu profesi yang memiliki ciri-ciri profesi yang sama seperti 10 ciri profesi sebelumnya. Profesi BK harus menuntut kemampuan konselor untuk memahami siswa, menguasai ilmu-ilmu psikologi yang berguna untuk memahami siswa, menguasai asa-asas BK dan landasan BK untuk dapat memberikan pelayanan yang optimal kepada siswa dan memberikan penyelesaian yang tepat dan sesuai dengan masalah yang dihadapi siswa. Namun, dalam pelaksanaannya belum optimal sehingga sering terjadi kekurangan yang terjadi disana-sini yang mengakibatkan pelayanan yang diberikan kadang tidak sesuai dengan asas-asas dan lansan yang benar dalam bidang BK.

Untuk menyempurnakan profesi BK, maka perlu dilakukan beberapa pengembangan yang mana pengembangan yang dilakukan meliputi :

  1. 1.        Standarisasi pekerjaan sebagai unjuk diri konselor

Banyak orang menganggap bahwa pekerjaan konselor dapat dilakukan oleh siapa saja , asalkan mereka mampu berkomunikasi dengan baik dan mampu mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi oleh murid. Namun sebenarnya pekerjaan BK memerlukan keahlian yang khusus dimiliki oleh seorang konselor , sebab dalam profesi BK memiliki asas-asas dan landasan yang memerlukan penguasaan dan pemahaman yang baik oleh konselor agar mereka dapat memberikan pelayanan yang tepat. Di Indonesia sendiri pelayanan konselor belum memiliki standar kompetensi yang berlaku secara menyeluruh , namun usahanya sudah pernah dilakukan oleh Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) dalam konvensi ke VII di Denpasar (1989) dan semakin diperkuat lagi dalam konvensi ke VIII yang dilaksanakan di Padang (1991) yang menghasilkan 225 butir kesepakatan mengenai bimbingan yang dilakukan kepada siswa di Indonesia. Ke 225 butir layanan tersebut sudah terinci namun dalam pelaksanaannya masih memerlukan pengkajian yang mendalam apakah layanan tersebut sudah sesuai dengan kebutuhan lapangan , sehingga masih terbuka kemungkinan apakah ke-225 butir tersebut masih bisa ditambah atau dikurangi.

 

  1. 2.        Standarisasi Penyiapan Konselor

Yang dimaksud standarisasi penyiapan konselor adalah menyiapkan konselor untuk memahami dan mengerti akan tugas-tugas sebagai konselor dan mampu menjalankan tugasnya tersebut. Untuk mencapai hal tersebut maka dilakukan persiapan kepada konselor melaui pendidikan dalam jabatan, pendidikan diperguruan tinggi , pelatihan-pelatihan , training , studi banding , dan segala yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan konselor. Penyiapan konselor sendiri paling optimal dilakukan di perguruan tinggi , sebab diperguruan tinggi materi yang diberikan sudah terstruktur dan dapat dilakukan secara berkesinambungan sehingga dapat dimengerti oleh mahasiswa calon guru konselor.

 

  1. 3.        Penerimaan Peserta Didik Untuk Calon Konselor

Seleksi penerimaan peserta didik merupakan tahap yang paling penting dalam penyiapan tenaga konselor. Penyipan tenaga konselor sangat dibutuhkan sebab hasil yang baik diperoleh dari penyiapan bibit yang baik, yaitu tenaga calon konselor. Untuk menyiapakn calon tenaga konselor yang baik ialah calon tenaga tersebut harus memiliki keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang memadai untuk menjalankan tugasnya. Keterampilan, pengetahuan, dan sikap itu didapatkan melalui pendidikan yang berlangsung dalam jangka waktu tertentu. Dengan memiliki kemampuan yang memadai, konselor dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan mampu memberikan pelayanan konseling sesuai dengan tahap-tahap perkembangan anak.

  1. a.      Hal-hal yang harus diperhatikan dalam profesi BK dan cara menjalankan program.

Dalam pelayanan bimbingan konseling , terdapat hal-hal yang harus diperhatikan oleh konselor. Hal-hal yang harus diperhatikan itu adalah:

Menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, individualitas, kebebasan memilih, dan mengedepankan kemaslahatan konseli dalam konteks kemaslahatan umum: (a) mengaplikasikan pandangan positif dan dinamis tentang manusia sebagai makhluk spiritual, bermoral, sosial, individual, dan berpotensi; (b) menghargai dan mengembangkan potensi positif individu pada umumnya dan konseli pada khususnya; (c) peduli terhadap kemaslahatan manusia pada umumnya dan konseli pada khususnya; (d) menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sesuai dengan hak asasinya; (e) toleran terhadap permsalahan konseli, dan (f) bersikap demokratis. Selain itu hal-hal yang bersifat teknis yang harus dikuasai konselor adalah :

  1. Menguasai landasan teoritik bimbingan dan konseling.
  2. Menguasai landasan teoritik bimbingan dan konseling; (b) menguasai ilmu pendidikan dan landasan keilmuannya; (c) mengimplementasikan prinsipprinsip pendidikan dan proses pembelajaran; (d) menguasai landasan budaya dalam praksis pendidikan
  3. Menguasai esensi pelayanan bimbingan dan konseling dalam jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan: (a) menguasai esensi bimbingan dan onseling pada satuan jalur pendidikan formal, non formal, dan informal; (b) menguasai esensi bimbingan dan konseling pada satuan jenis pendidikan umum, kejuruan, keagamaan, dan khusus; dan (c) menguasai esensi bimbingan dan konseling pada satuan jenjang pendidikan usia dini, dasar dan menengah.
  4. Menguasai konsep dan praksis penelitian bimbingan dan konseling: (a) memahami berbagai jenis dan metode penelitian; (b) mampu merancang penelitian bimbingan dan konseling; (c) melaksanakan penelitian bimbingan dan konseling; (d) memanfaatkan hasil penelitian dalam bimbingan dan konseling dengan mengakses jurnal pendidikan dan bimbingan dan konseling.
  5. Menguasai kerangka teori dan praksis bimbingan dan konseling: (a) mengaplikasikan hakikat pelayanan bimbingan dan konseling; (b) mengaplikasikan arah profesi bimbingan dan konseling; (c) mengaplikasikan dasar-dasar pelayanan bimbingan dan konseling; (d) mengaplikasikan pelayanan bimbingan dan konseling sesuai kondisi dan tuntutan wilayah kerja; (e) mengaplikasikan pendekatan/model/ jenis layanan dan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling; dan (f) Mengaplikasikan dalam praktik format pelayanan bimbingan dan konseling.

 

Adapun cara Menyelenggarakan bimbingan dan konseling yang memandirikan adalah sebagai berikut :

  1. Merancang program bimbingan dan konseling: (a) menganalisis kebutuhan konseli; (b) menyusun program bimbingan dan konseling yang berkelanjutan berdasar kebutuhan peserta didik secara komprehensif dengan pendekatan perkembangan; (c) menyusun rencana pelaksanaan program bimbingan dan konseling; dan (d) merencanakan sarana dan biaya penyelenggaraan program bimbingan dan konseling.
  2. Mengimplemantasikan program bimbingan dan konseling yang komprehensif: (a) Melaksanakan program bimbingan dan konseling: (b) melaksanakan pendekatan kolaboratif dalam layanan bimbingan dan konseling; (c) memfasilitasi perkembangan, akademik, karier, personal, dan sosial konseli; dan (d) mengelola sarana dan biaya program bimbingan dan konseling.
  3. Menilai proses dan hasil kegiatan bimbingan dan konseling: (a) melakukan evaluasi hasil, proses dan program bimbingan dan konseling; (b) melakukan penyesuaian proses layanan bimbingan dan konseling; (c) menginformasikan hasil pelaksanaan evaluasi layanan bimbingan dan konseling kepada pihak terkait; (d) menggunakan hasil pelaksanaan evaluasi untuk merevisi dan mengembangkan program bimbingan dan konseling.
  4. Mengimplementasikan kolaborasi intern di tempat bekerja: (a) memahami dasar, tujuan, organisasi dan peran pihak-pihak lain (guru, wali kelas, pimpinan sekolah/madrasah, komite sekolah/madrasah di tempat bekerja; (b) mengkomunikasikan dasar, tujuan, dan kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling kepada pihak-pihak lain di tempat bekerja; dan (c) bekerja sama dengan pihak-pihak terkait di dalam tempat bekerja seperti guru, orang tua, tenaga administrasi).
  5. Berperan dalam organisasi dan kegiatan profesi bimbingan dan konseling: (a) Memahami dasar, tujuan, dan AD/ART organisasi profesi bimbingan dan konseling untuk pengembangan diri.dan profesi; (b) menaati Kode Etik profesi bimbingan dan konseling; dan (c) aktif dalam organisasi profesi bimbingan dan konseling untuk pengembangan diri.dan profesi.
  6. Mengimplementasikan kolaborasi antar profesi: (a) mengkomunikasikan aspek-aspek profesional bimbingan dan konseling kepada organisasi profesi lain; (b) memahami peran organisasi profesi lain dan memanfaatkannya untuk suksesnya pelayanan bimbingan dan konseling; (c) bekerja dalam tim bersama tenaga paraprofesional dan profesional profesi lain; dan (d) melaksanakan referal kepada ahli profesi lain sesuai keperluan.

 

PROSPEK BK DI SEKOLAH DENGAN DIBERLAKUKANNYA KURIKULUM TAHUN 2013

Bimbingan dan konseling adalah upaya pendidikan dan merupakan bagian integral dari pendidikan yang secara sadar memposisikan “… kemampuan peserta didik untuk mengeksplorasi, memilih, berjuang meraih, serta mempertahankan karier itu ditumbuhkan secara isi-mengisi atau komplementer oleh guru bimbingan dan konseling/ konselor dan oleh guru mata pelajaran dalam setting pendidikan khususnya dalam jalur pendidikan formal, dan sebaliknya tidak merupakan hasil upaya yang dilakukan sendirian oleh Konselor, atau yang dilakukan sendirian oleh Guru.” (ABKIN: 2007).

Ini berarti bahwa proses peminatan, yang difasilitasi oleh layanan bimbingan dan konseling, tidak berakhir pada penetapan pilihan dan keputusan bidang atau rumpun keilmuan yang dipilih peserta didik di dalam mengembangkan potensinya, yang akan menjadi dasar bagi perjalanan hidup dan karir selanjutnya, melainkan harus diikuti dengan layanan pembelajaran yang mendidik, aksesibilitas perkembangan yang luas dan terdiferensiasi, dan penyiapan lingkungan perkembangan/belajar yang mendukung. Dalam konteks ini bimbingan dan konseling berperan dan berfungsi, secara kolaboratif, dalam hal-hal berikut.

  1. 1.        Menguatkan Pembelajaran yang Mendidik

Untuk mewujudkan arahan Pasal 1 (1), 1 (2), Pasal 3, dan Pasal 4 (3) UU No. 20 tahun 2003 secara utuh, kaidah-kaidah implementasi Kurikulum 2013 sebagaimana dijelaskan harus bermuara pada perwujudan suasana dan proses pembelajaran mendidik yang memfasilitasi perkembangan potensi peserta didik. Suasana belajar dan proses pembelajaran dimaksud pada hakikatnya adalah proses mengadvokasi dan memfasilitasi perkembangan peserta didik yang dalam implementasinya memerlukan penerapan prinsip-prinsip bimbingan dan konseling.

Bimbingan dan konseling harus meresap ke dalam kurikulum dan pembelajaran untuk mengembangkan lingkungan belajar yang mendukung perkembangan potensi peserta didik. Untuk mewujudkan lingkungan belajar dimaksud, guru hendaknya: (1) memahami kesiapan belajar peserta didik dan penerapan prinsip bimbingan dan konseling dalam pembelajaran, (2) melakukan asesmen potensi peserta didik, (3) melakukan diagnostik kesulitan perkembangan dan belajar peserta didik, (4) mendorong terjadinya internalisasi nilai sebagai proses individuasi peserta didik. Perwujudan keempat prinsip yang disebutkan dapat dikembangkan melalui kolaborasi pembelajaran dengan bimbingan dan konseling.

  1. 2.        Memfasilitasi Advokasi dan Aksesibilitas

Kurikulum 2013 menghendaki adanya diversifikasi layanan, jelasnya layanan peminatan. Bimbingan dan konseling berperan melakukan advokasi, aksesibilitas, dan fasilitasi agar terjadi diferensiasi dan diversifikasi layanan pendidikan bagi pengembangan pribadi, sosial, belajar dan karir peserta didik. Untuk itu kolaborasi guru bimbingan dan konseling/konselor dengan guru mata pelajaran perlu dilaksanakan dalam bentuk: (1) memahami potensi dan pengembangan kesiapan belajar peserta didik, (2) merancang ragam program pembelajaran dan melayani kekhususan kebutuhan peserta didik, serta (3) membimbing perkembangan pribadi, sosial, belajar dan karir.

  1. 3.        Menyelenggarakan Fungsi Outreach

Dalam upaya membangun karakter sebagai suatu keutuhan perkembangan, sesuai dengan arahan Pasal 4 (3) UU No. 20/2003, Kurikulum 2013 menekankan pembelajaran sebagai proses pemberdayaan dan pembudayaan. Untuk mendukung prinsip dimaksud bimbingan dan konseling tidak cukup menyelenggarakan fungsi-fungsi inreach tetapi juga melaksanakan fungsi outreach yang berorientasi pada penguatan daya dukung lingkungan perkembangan sebagai lingkungan belajar.

Dalam konteks ini kolaborasi guru bimbingan dan konseling/konselor dengan guru mata pelajaran hendaknya terjadi dalam konteks kolaborasi yang lebih luas, antara lain: (1) kolaborasi dengan orang tua/keluarga, (2) kolaborasi dengan dunia kerja dan lembaga pendidikan, (3) “intervensi” terhadap institusi terkait lainnya dengan tujuan membantu perkembangan peserta didik.

 

REKOMENDASI

Kebutuhan Guru Bimbingan dan Konseling sebanyak 92.572 sebagaimana diberitakan Harian Kompas (Rabu, 23 Januari 2013), menghendaki penyiapan Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor secara sungguh-sungguh dan profesional. Dengan berpayung pada UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, penyiapan guru bimbingan dan konseling/konselor profesional disiapkan di LPTK melalui pendidikan akademik S1 bidang Bimbingan dan Konseling dan Pendidikan Profesi Konselor sebagai suatu keutuhan sebagaimana diatur dalam Permendiknas No. 27/2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor Indonesia.

Untuk memantapkan unjuk kerja profesi bimbingan dan konseling di tanah air khususnya pada setting persekolahan, perlu dilakukan pengembangan profesionalitas bimbingan dan konseling, yang dilakukan oleh guru pembimbing– konselor sekolah melalui berbagai kegiatan profesi yang bersifat ilmiah. Beberapa kegiatan ilmiah tersebut, di antaranya: penelitian, seminar, lokakarya, workshop, pelatihan, diskusi panel, dan kegiatan sejenis yang berskala lokal, nasional, regional, maupun internasional, yang secara singkat diuraikan berikut ini.

Penelitian. Kemampuan dan keterampilan guru pembimbing–konselor dalam melakukan penelitian sangat menunjang terhadap kualitas pengelolaan pelayanan bimbingan dan konseling. Hasil-hasil penelitian yang dilakukan guru pembimbing–konselor sekolah yang dipublikasikan dalam suatu jurnal penelitian organisasi profesi bimbingan dan konseling, sangat bermanfaat bagi dirinya dan teman sejawat untuk melakukan perbaikan khususnya pada praksis pelayanan bimbingan dan konseling. Kemampuan dan keterampilan guru pembimbing– konselor sekolah dalam bidang penelitian (research) dapat ditumbuhkembangkan melalui pelatihan penelitian yang lazimnya dapat diselenggarakan oleh organisasi profesi ABKIN dan atau organisasi fungsional MGBK, serta lembaga-lembaga yang relevan.

Seminar. Kegiatan seminar merupakan salah satu bentuk kegiatan ilmiah yang diikuti para pembimbing–konselor sekolah untuk mengembangkan kemampuannya melalui peran serta aktif dalam kegiatan tersebut. Seminar dengan menghadirkan pembicara pakar bimbingan dan konseling dari dalam dan di luar negeri serta unsur birokrasi yang dirancang dan dilaksanakan dengan baik, dapat memberikan hasil perkembangan terbaru dalam aspek pengetahuan dan teknologi, yang sangat dibutuhkan guru pembimbing–konselor sekolah untuk meningkatkan kinerjanya. Kegiatan seminar ini tentunya dibingkai dalam bentuk forum ilmiah yang memungkinkan parapembimbing–konselor sekolah berperan aktif untuk mengungkapkan pengalaman dan gagasannya yang terkait dengan peningkatan profesi bimbingan dan konseling.

Lokakarya dan Workshop. Kegiatan ini cukup populer dilaksanakan untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan guru pembimbing–konselor sekolah dalam beberapa hal, seperti; pengembangan perangkat atau piranti bimbingan dan konseling (pengembangan materi pelayanan BK sebagai konteks, teknik asesmen, multi media atau media digital, dan piranti BK lainnya). Dalam penyelenggaraan lokakarya dan workshop, guru pembimbing–konselor sekolah hendaknya tidak sekedar diperlakukan sebagai peserta, tetapi jauh lebih penting adalah melibatkan mereka sebagai narasumber. Dengan keterlibatan mereka yang memiliki kapasitas yang dibutuhkan, diharapkan kegiatan ini dapat memicu guru pembimbing–konselor sekolah untuk mengembangkan kompetensinya secara berkelanjutan, khususnya untuk meningkatkan praksis pelayanan bimbingan dan konseling pada institusinyamasing-masing.

Pelatihan. Kegiatan ini relevan untuk mengembangkan kemampuan gurupembimbing–konselor sekolah dalam bidang penelitian, penulisan karya ilmiah, danketerampilan-keterampilan lain yang menunjang tugas-tugasnya misalnya kemampuan; memberikan konseling, melakukan kerja sama, melakukan penelitian tindakan kelas(Classroom Action Research), dan tugas lain seperti membina siswa dalam bentuk berbagai kegiatan ekstra kurikuler (pramuka, paskibraka, karya ilmiah remaja, latihan kepemimpinan, jurnalistik, dan lainnya).

Diskusi panel. Kegiatan diskusi panel pada dasarnya sama dengan seminar. Hanya pada diskusi panel, beberapa pembicara / narasumber mengungkapkan pandangan / gagasannya tentang suatu topik permasalahan / isu yang diangkat sebagai topik diskusi panel. Dalam kegiatan ini, peran moderator sangat penting sebagai pengatur jalannya diskusi panel. Di pihak lain para peserta diskusi panel hendaknya juga terlibat aktif untuk memberikan gagasan / pendapat-pendapatnya atas stimuli yang digagas oleh beberapa narasumber.

 

KEPUSTAKAAN

ABKIN, 2007. Standar Kompetensi Konselor Indoneisa. Bandung : Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia

 

Harian Kompas, 23 Januari 2013, “Sekolah kekurangan 92.572 Guru Bimbingan dan Konseling.”

 

Hartono. Bimbingan Dan Konseling Dalam Konteks Pendidikan Formal: Suatu Kajian Akademik tersedia si http://share.pdfonline.com diakses tanggal 1 Januari 2014

 

Kartadinata, Sunaryo. 2005. Arah dan Tantangan Bimbingan dan Konseling Profesional; HIstorik-Futuristik. (dalam : Pendidikan dan Konseling di Era Global dalam Perspejtif Prof.Dr.M.Djawad Dahlan). Bandung : Rzki Press

 

NN. 2003. Baru 10 Persen Konselor yang bersertifikat.  Tersedia di : www.kompascybermedia.com

 

Nurhudaya. 2005. Pelayanan Konseling di Era Global (dalam : Pendidikan dan Konseling di Era Global dalam Perspejtif Prof.Dr.M.Djawad Dahlan). Bandung : Rzki Press

 

Prayitno. (2003). Pemantapan Profesionalisasi Profesi Konseling. Makalah pada Konvensi Nasional XIII Bimbingan dan Konseling, Bandung

 

Suherman, Uman. 2003. Kompetensi Dan Aspek Etik Profesional Konselor Masa Depan. (Kumpulan Makalah Konvensi ABKIN XIII)

 

 

 

 

KEWAJIBAN SUAMI (2)

Kewajiban Suami (2)

 

Pertama: Bergaul dengan istri dengan cara yang ma’ruf (baik)

Yang dimaksud di sini adalah bergaul dengan baik, tidak menyakiti, tidak menangguhkan hak istri padahal mampu, serta menampakkan wajah manis dan ceria di hadapan istri.

Allah Ta’ala berfirman,

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Dan bergaullah dengan mereka dengan baik.” (QS. An Nisa’: 19).

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (QS. Al Baqarah: 228).

Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى

Sebaik-baik kalian adalah yan berbuat baik kepada keluarganya. Sedangkan aku adalah orang yang  paling berbuat baik pada keluargaku” (HR. Tirmidzi no. 3895, Ibnu Majah no. 1977, Ad Darimi 2: 212, Ibnu Hibban 9: 484. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata mengenai surat An Nisa’ ayat 19 di atas, “Berkatalah yang baik kepada istri kalian, perbaguslah amalan dan tingkah laku kalian kepada istri. Berbuat baiklah sebagai engkau suka jika istri kalian bertingkah laku demikian.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 3: 400)

Berbuat ma’ruf adalah kalimat yang sifatnya umum, tercakup di dalamnya seluruh hak istri. Nah, setelah ini akan kami utarakan berbagai bentuk berbuat baik kepada istri. Penjelasan ini diperinci satu demi satu agar lebih diperhatikan para suami.

Kedua: Memberi nafkah, pakaian dan tempat tinggal dengan baik

Yang dimaksud nafkah adalah harta yang dikeluarkan oleh suami untuk istri dan anak-anaknya berupa makanana, pakaian, tempat tinggal dan hal lainnya. Nafkah seperti ini adalah kewajiban suami berdasarkan dalil Al Qur’an, hadits, ijma’ dan logika.

Dalil Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya” (QS. Ath Tholaq: 7).

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada istrinya dengan cara ma’ruf” (QS. Al Baqarah: 233).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Bapak dari si anak punya kewajiban dengan cara yang ma’ruf (baik) memberi nafkah pada ibu si anak, termasuk pula dalam hal pakaian. Yang dimaksud dengan cara yang ma’ruf adalah dengan memperhatikan kebiasaan masyarakatnya tanpa bersikap berlebih-lebihan dan tidak pula pelit. Hendaklah ia memberi nafkah sesuai kemampuannya dan yang mudah untuknya, serta bersikap pertengahan dan hemat” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2: 375).

Dari Jabir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika haji wada’,

فَاتَّقُوا اللَّهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ. فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Bertakwalah kepada Allah pada (penunaian hak-hak) para wanita, karena kalian sesungguhnya telah mengambil mereka dengan amanah Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Kewajiban istri bagi kalian adalah tidak boleh permadani kalian ditempati oleh seorang pun yang kalian tidak sukai. Jika mereka melakukan demikian, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakiti. Kewajiban kalian bagi istri kalian adalah memberi mereka nafkah dan pakaian dengan cara yang ma’ruf” (HR. Muslim no. 1218).

Dari Mu’awiyah Al Qusyairi radhiyallahu ‘anhu, ia bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai kewajiban suami pada istri, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ – أَوِ اكْتَسَبْتَ – وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ

Engkau memberinya makan sebagaimana engkau makan. Engkau memberinya pakaian sebagaimana engkau berpakaian -atau engkau usahakan-, dan engkau tidak memukul istrimu di wajahnya, dan engkau tidak menjelek-jelekkannya serta tidak memboikotnya (dalam rangka nasehat) selain di rumah” (HR. Abu Daud no. 2142. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).

Dari Aisyah, sesungguhnya Hindun binti ‘Utbah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang suami yang pelit. Dia tidak memberi untukku dan anak-anakku nafkah yang mencukupi kecuali jika aku mengambil uangnya tanpa sepengetahuannya”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خُذِى مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ

Ambillah dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar sepatutnya” (HR. Bukhari no. 5364).

Lalu berapa besar nafkah yang menjadi kewajiban suami?

Disebutkan dalam ayat,

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.” (QS. Ath Tholaq: 7).

عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ

Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula)” (QS. Al Baqarah: 236).

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hindun,

خُذِى مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ

Ambillah dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar sepatutnya” (HR. Bukhari no. 5364).

Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa yang jadi patokan dalam hal nafkah:

  1. Mencukupi istri dan anak dengan baik, ini berbeda tergantung keadaan, tempat dan zaman.
  2. Dilihat dari kemampuan suami, apakah ia termasuk orang yang dilapangkan dalam rizki ataukah tidak.

Termasuk dalam hal nafkah adalah untuk urusan pakaian dan tempat tinggal bagi istri. Patokannya adalah dua hal yang disebutkan di atas.

Mencari nafkah bagi suami adalah suatu kewajiban dan jalan meraih pahala. Oleh karena itu, bersungguh-sungguhlah menunaikan tugas yang mulia ini.

Selain hal di atas, ada beberapa sikap yang seharusnya dimiliki oleh seorang suami. Seperti lemah lembut, perhatian dan meluangkan waktu untuk bercanda dengan istri tercinta. Sifat-sifat ini telah diajarkan oleh suri tauladan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sudah sepatutnya pun kita selaku seorang suami meneladani dan mempraktekannya.

Ketiga: Meluangkan waktu untuk bercanda dengan istri tercinta

Inilah yang dicontohkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang diceritakan oleh istri beliau, ‘Aisyahradhiyallahu ‘anha,

أَنَّهَا كَانَتْ مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فِى سَفَرٍ قَالَتْ فَسَابَقْتُهُ فَسَبَقْتُهُ عَلَى رِجْلَىَّ فَلَمَّا حَمَلْتُ اللَّحْمَ سَابَقْتُهُ فَسَبَقَنِى فَقَالَ « هَذِهِ بِتِلْكَ السَّبْقَةِ ».

Ia pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam safar. ‘Aisyah lantas berlomba lari bersama beliau dan ia mengalahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala ‘Aisyah sudah bertambah gemuk, ia berlomba lari lagi bersama Rasulshallallahu ‘alaihi wa sallam, namun kala itu ia kalah. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ini balasan untuk kekalahanku dahulu.” (HR. Abu Daud no. 2578 dan Ahmad 6: 264. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam masih menyempatkan diri untuk bermain dan bersenda gurau dengan istrinya tercinta.

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

رَأَيْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَسْتُرُنِى بِرِدَائِهِ ، وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى الْحَبَشَةِ يَلْعَبُونَ فِى الْمَسْجِدِ ، حَتَّى أَكُونَ أَنَا الَّذِى أَسْأَمُ ، فَاقْدُرُوا قَدْرَ الْجَارِيَةِ الْحَدِيثَةِ السِّنِّ الْحَرِيصَةِ عَلَى اللَّهْوِ

Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menutup-nutupi pandanganku dengan pakaiannya, sementara aku melihat ke arah orang-orang Habasyah yang sedang bermain di dalam Masjid sampai aku sendirilah yang merasa puas. Karenanya, sebisa mungkin kalian bisa seperti gadis belia yang suka bercanda” (HR. Bukhari no. 5236 dan Muslim no. 892).

Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bercanda sambil menutup-nutupi pandangan istrinya yang ingin memandang seorang pemuda. Lihatlah candaan beliau dan senda gurau kepada istrinya tercinta! Sebagai suami pernahkah kita seperti itu?

Keempat: Menyempatkan waktu untuk mendengar curhatan istri

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa duduk dan menyimak curhatan dan cerita ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, sampai pun kisah itu panjang. Di antara cerita ‘Aisyah pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dikisahkan dalam hadits yang lumayan panjang berikut ini.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ جَلَسَ إِحْدَى عَشْرَةَ امْرَأَةً فَتَعَاهَدْنَ وَتَعَاقَدْنَ أَنْ لاَ يَكْتُمْنَ مِنْ أَخْبَارِ أَزْوَاجِهِنَّ شَيْئًا

Sebelas orang wanita berkumpul lalu mereka berjanji dan bersepakat untuk tidak menyembunyikan sedikit pun cerita tentang suami mereka.

قَالَتِ الأُوْلَى زَوْجِي لَحْمُ جَمَلٍ غَثٍّ عَلَى رَأْسِ جَبَلٍ لاَ سَهْلَ فَيُرْتَقَى وَلاَ سَمِيْنَ فَيُنْتَقَلُ

Wanita pertama berkisah, “Sesungguhnya suamiku adalah daging unta yang kurus yang berada di atas puncak gunung yang tanahnya berlumpur yang tidak mudah untuk didaki  dan dagingnya juga tidak gemuk untuk diambil.

Maksud perkataan di atas: Si wanita memisalkan suaminya dengan daging yang kurus, sedikit dagingnya. Lalu daging tersebut diletakkan di atas gunung yang terjal yang sulit didaki. Daging unta berbeda dengan daging domba atau kambing yang terasa lebih enak. Artinya, si istri ingin menyatakan sulitnya bergaul dengan suaminya. Ia tidak mengerti bagaimana cara yang baik untuk berbicara dengan suaminya karena suaminya buruk perangainya. Sudah dengan usaha keras, si istri ingin berhubungan baik dengan suaminya, ia tidak bisa meraih dan bersenang-senang dengannya.

قَالَتْ الثَانِيَةُ زَوْجِي لاَ أَبُثُّ خَبَرَهُ إِنِّي أَخَافُ أَنْ لاَ أَذَرَهُ إِنْ أَذْكُرْهُ أَذْكُرْ عُجَرَهُ وَبُجَرَهُ

Wanita kedua berkisah, “Mengenai suamiku, aku tidak akan menceritakannya karena jika aku berkisah tentangnya aku khawatir aku (tidak mampu) meninggalkannya. Jika aku menyebutkan tentangnya maka aku akan menyebutkan urat-uratnya yang muncul di tubuhnya dan juga perutnya”.

Maksud perkataan di atas: Ia mengisyaratkan bahwa suaminya itu penuh dengan ‘aib. Jika diceritakan, ia khawatir tidak akan ada ujungnya kisah tentang suaminya karena saking banyaknya ‘aib suaminya. Jika aibnya disebut maka akan nampak aib luar seperti urat di badan dan dalam tubuhnya seperti urat di perut. Ada pula yang menafsirkan, jika si istri menceritakan aib suaminya, maka ia khawatir akan berpisah darinya. Karena jika sampai ketahuan, suaminya akan menceraikannya dan ia khawatir karena masih ada anak dan hubungan dengan suaminya.

قَالَتْ الثَّالِثَةُ زَوْجِي الْعَشَنَّقُ إِنْ أَنْطِقْ أُطَلَّقْ وَإِنْ أَسْكُتْ أُعَلَّقْ

Wanita ketiga berkisah, “Suamiku tinggi, jika aku berucap maka aku akan dicerai, dan jika aku diam maka aku akan tergantung”.

Maksud perkataan di atas: Ia memaksudkan suaminya adalah suami yang berperangai buruk atau ada yang mengatakan bahwa suaminya itu egois (mementingkan diri sendiri). Ia mengetahui jika ia mengeluh kepada suaminya maka sang suami langsung menceraikannya. Namun jika ia berdiam diri maka ia akan tersiksa karena seperti wanita yang tidak bersuami padahal ia bersuami.

قَالَتِ الرَّابِعَةُ زَوْجِي كَلَيْلِ تِهَامَةَ لاَ حَرَّ وَلاَ قَرَّ وَلاَ مَخَافَةَ وَلاَ سَآمَةَ

Wanita keempat berkisah, “Suamiku seperti malam di Tihamah, tidak panas dan tidak dingin, tidak ada ketakutan dan tidak ada rasa bosan”.

Maksud perkataan di atas: Tihamah adalah suatu daerah yang ma’ruf. Malam di sana seimbang (tidak panas dan tidak dingin), cuacanya bagus dan bersahabat. Jadi si wanita menyifati suaminya yang pelembut dan berperangai baik. Si wanita selalu tentram, tidak penuh kekhawatiran ketika berada di sisi suaminya. Suaminya tidak ada rasa bosan dengannya. Istrinya merasakan keadaannya di sisi suaminya seperti keadaan penduduk Tihamah, suaminya menikmati hubungan dengannya seperti kenikmatan di Tihamah yang tidak panas dan tidak dingin serta dalam cuaca yang bersahabat.

قَالَتِ الْخَامِسَةُ زَوْجِي إِنْ دَخَلَ فَهِدَ وَإِنْ خَرَجَ أَسِدَ وَلاَ يَسْأَلُ عَمَّا عَهِدَ

Wanita kelima berkisah, “Suamiku jika masuk rumah seperti macan dan jika keluar maka seperti singa dan tidak bertanya apa yang telah diperbuatnya (yang didapatinya)”.

Maksud perkataan di atas: Cerita si wanita bisa jadi sebuah pujian, bisa jadi suatu celaan. Apabila yang dimaksud adalah pujian, maka ada beberapa tafsiran. Tafsiran pertama, suaminya disifatkan seperti macan karena biasa menundukkan dan menjima’ istrinya. Aritnya, istrinya begitu disayangi sampai si suami tidak kuat tatkala memandangnya. Jika keluar dari rumah, ia adalah seorang yang gagah seperti singa. Jika datang, ia biasa membawa makanan, minuman dan pakaian, jangan ditanya di mana ia memperolehnya. Tafsiran kedua, masih sebagai pujian. Jika ia memasuki rumah, seperti macan, yaitu ia tidak pernah mengomentari apa yang terjadi di rumah, adakah yang cacat, dan tidak banyak komentar. Jika ia keluar dari rumah, ia begitu perkasa seperti singa. Ia tidak banyak bertanya apa yang terjadi. Maksudnya adalah si suami begitu bergaul dengan istri meskipun ia melihat kekurangan yang nampak pada istrinya.

Adapun jika maksud perkataan si wanita adalah celaan, dapat ditafsirkan ia mensifati suaminya ketika suaminya masuk ke dalam rumah seperti macan, yaitu bersikap kasar, tidak ada muqoddimah atau ancang-ancang sebelum hubungan intim. Juga ia memaksudkan bahwa suaminya memiliki perangai buruk, sering menyiksa dan memukulnya tanpa bertanya padanya. Jika suaminya keluar dan istrinya dalam keadaan sakit lalu ia kembali, tidak ada perhatiannya padanya dan anak-anaknya.

قَالَتِ السَّادِسَةُ زَوْجِي إِنْ أَكَلَ لَفَّ وَإِنْ شَرِبَ اشْتَفَّ وَإِنِ اضْطَجَعَ الْتَفَّ وَلاَ يُوْلِجُ الْكَفَّ لِيَعْلَمَ الْبَثَّ

Wanita keenam berkisah, “Suamiku jika makan maka banyak menunya dan tidak ada sisanya, jika minum maka tidak tersisa, jika berbaring maka tidur sendiri sambil berselimutan, dan tidak mengulurkan tangannya untuk mengetahui kondisiku yang sedih”.

Maksud perkataan di atas: Ia mensifati suaminya yang biasa menyantap makanan apa saja dan banyak minum. Jika ia tidur, ia sering menjauh dari istrinya dan tidur sendirian. Ia pun tidak berusaha mengetahui keadaan istrinya yang sedih. Intinya, ia menyifati suaminya dengan banyak makan dan minum, serta sedikit jima’ (berhubungan intim). Ini menunjukkan celaan.

قَالَتِ السَّابِعَةُ زَوْجِي غَيَايَاءُ أَوْ عَيَايَاءُ طَبَاقَاءُ كُلُّ دَاءٍ لَهُ دَاءٌ شَجَّكِ أَوْ فَلَّكِ أَوْ جَمَعَ كُلاًّ لَكِ

Wanita ketujuh berkisah, “Suamiku bodoh yang tidak pandai berjimak, semua penyakit (aib) dia miliki, dia melukai kepalamu, melukai badanmu, atau mengumpulkan seluruhnya untukmu”.

Maksud perkataan di atas: Ia menjelaskan bahwa suaminya tidak kuat berhubungan intim dengan istrinya. Jika ia berbicara, ia biasa menyakiti kepala. Jika ia berhubungan intim, ia biasa memukul kepala dan melukai jasad.

قَالَتِ الثَّامِنَةُ زَوْجِي الْمَسُّ مَسُّ أَرْنَبَ وَالرِّيْحُ رِيْحُ زَرْنَبَ

Wanita kedelapan berkisah, “Suamiku sentuhannya seperti sentuhan kelinci dan baunya seperti bau zarnab (tumbuhan yang baunya harum)”.

Maksud perkataan di atas: Suaminya selalu bersikap lemah lembut dan bersikap baik pada istrinya.

قَالَتِ التَّاسِعَةُ زَوْجِي رَفِيْعُ الْعِمَادِ طَوِيْلُ النِّجَادِ عَظِيْمُ الرَّمَادِ قَرِيْبُ الْبَيْتِ مِنَ النَادِ

Wanita kesembilan berkisah, “Suamiku tinggi tiang rumahnya, panjang sarung pedangnya, banyak abunya, dan rumahnya dekat dengan bangsal (tempat pertemuan)”.

Maksud perkataan di atas: Suaminya itu termasuk orang terpandang, banyak tamu yang mengunjunginya sehingga ia pun biasa menyembelih hewan untuk menyambut tamunya. Ia pun dianggap mulia oleh keluarganya. Suamiya pun biasa didatangi oleh orang-orang yang ingin curhat berbagai masalah dan persoalan mereka. Ia terkenal dengan sifatnya yang mulia, orang yang terpandangan, berakhlak mulia dan memiliki pergaulan yang baik dengan sesama.

قَالَتِ الْعَاشِرَةُ زَوْجِي مَالِكٌ وَمَا مَالِكٌ؟ مَاِلكُ خَيْر مِنْ ذَلِكَ لَهُ إِبِلٌ كَثِيْرَاتُ الْمَبَارِكِ قَلِيْلاَتُ الْمَسَارِحِ، وَإِذَا سَمِعْنَ صَوْتَ الْمُزْهِرِ أَيْقَنَّ أَنَهُنَّ هَوَالِكُ

Wanita kesepuluh berkisah, “Suamiku (namanya) adalah Malik, dan siapakah gerangan si Malik?  Malik  adalah lebih baik dari pujian yang disebutkan tentangnya. Ia memiliki unta yang banyak kandangnya dan sedikit tempat gembalanya, dan jika unta-unta tersebut mendengar kayu dari tukang jagal maka unta-unta tersebut yakin bahwa mereka akan disembelih.”

Maksud perkataan di atas: Suaminya memiliki banyak unta sebagai persiapan untuk menyambut tamu. Artinya, suaminya memiliki akhlak mulia, ia sering memuliakan para tamu dengan pemuliaan yang luar biasa.

قَالَتِ الْحَادِيَةَ عَشْرَةَ زَوْجِي أَبُوْ زَرْعٍ فَمَا أَبُوْ زَرْعٍ؟ أَنَاسَ مِنْ حُلِيٍّ أُذُنَيَّ وَمَلَأَ مِنْ شَحْمِ عَضُدَيَّ وَبَجَّحَنِي فَبَجَحْتُ إِلَى نَفْسِي

Wanita kesebelas berkisah, “Suamiku adalah Abu Zar’. Siapa gerangan Abu Zar’? Dialah yang telah memberatkan telingaku dengan perhiasan dan telah memenuhi lemak di lengan atas tanganku dan menyenangkan aku, maka aku pun gembira.”

Maksud perkataan di atas: Maksudnya yaitu suaminya Abu Zar’ memberikannya perhiasan yang banyak dan memperhatikan dirinya serta menjadikan tubuhnya padat (montok). Karena jika lengan atasnya padat maka tandanya tubuhnya semuanya padat. Hal ini menjadikannya gembira. Merupakan sifat suami yang baik adalah menghiasi dan mempercantik istrinya dengan perhiasan dan memberikan kepada istrinya makanan pilihan. Sesungguhnya hal ini menjadikan sang istri menjadi sangat mencintai suaminya karena merasakan perhatian suaminya dan sayangnya suaminya kepadanya. Para wanita sangat suka kepada perhiasan emas, dan ini merupakan hadiah yang paling baik yang diberikan kepada wanita. Tubuh yang berisi padat (tidak kurus dan tidak gemuk) merupakan sifat kecantikan seorang wanita.

. وَجَدَنِي فِي أَهْلِ غُنَيْمَةٍ بِشِقٍ فَجَعَلَنِي فِي أَهْلِ صَهِيْلٍ وَأَطِيْطٍ وَدَائِسٍ وَمَنَقٍ، فَعِنْدَهُ أَقُوْلُ فَلاَ أُقَبَّحُ وَأَرْقُدُ فَأَتَصَبَّحُ وَأَشْرَبُ فَأَتَقَنَّحُ

Ia mendapatiku pada peternak kambing-kambing kecil dalam kehidupan yang sulit, lalu ia pun menjadikan aku di tempat para pemilik kuda dan unta, penghalus makanan dan suara-suara hewan ternak. Di sisinya aku berbicara dan aku tidak dijelek-jelekan, aku dibiarkan tidur di pagi hari, aku minum hingga aku puas dan tidak pingin minum lagi.

Maksud perkataan di atas: Maksudnya yaitu Abu Zar’ mendapatinya dari keluarga yang menggembalakan kambing-kambing kecil yang menunjukan keluarga tersebut kurang mampu dan menjalani hidup dengan susah payah. Lalu Abu Zar’ memindahkannya ke kehidupan keluarga yang mewah yang makanan mereka adalah makanan pilihan yang dihaluskan. Mereka memiliki kuda-kuda dan onta-onta serta hewan-hewan ternak lainnya. Jika ia berbicara di hadapan suaminya maka suaminya Abu Zar’ tidak pernah membantahnya dan tidak pernah menghinakan atau menjelekkannya karena mulianya suaminya tersebut dan sayangnya pada dirinya. Ia tidur di pagi hari dan tidak dibangunkan karena sudah ada pembantu yang mengurus urusan rumah. Ia minum hingga puas sekali dan tidak ingin minum lagi yaitu suaminya telah memberikannya berbagai macam minuman seperti susu, jus anggur, dan yang lainnya. Merupakan sifat suami yang baik adalah membantu istrinya diantaranya dengan mendatangkan pembantu yang bisa membantu tugas-tugas rumah tangga istrinya.

. أُمُّ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا أُمُّ أَبِي زَرْعٍ ؟ عُكُوْمُهَا رِدَاحٌ وَبَيْتُهَا فَسَاحٌ
ابْنُ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا ابْنُ أَبِي زَرْعٍ؟ مَضْجَعُهُ كَمَسَلِّ شَطْبَةٍ وَيُشْبِعُهُ ذِرَاعُ الْجَفْرَةِ بِنْتُ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا بِنْتُ أَبِي زَرْعٍ؟ طُوْعُ أَبِيْهَا وَطُوْعُ أُمِّهَا وَمِلْءُ كِسَائِهَا وَغَيْظُ جَارَتِهَا جَارِيَةُ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا جَارِيَةُ أَبِي زَرْعٍ؟ لاَ تَبُثُّ حَدِيْثَنَا تَبْثِيْثًا وَلاَ تُنَقِّثُ مِيْرَتَنَا تَنْقِيْثًا وَلاَ تَمْلَأُ بَيْتَنَا تَعْشِيْشًا

Ibu Abu Zar’. Siapakah gerangan Ibu Abu Zar’?, yang mengumpulkan perabotan rumah, dan memiliki rumah yang luas.

Maksud perkataan di atas: Ibu suaminya adalah wanita yang kaya raya yang memiliki banyak perabot rumah tangga didukung dengan rumahnya yang besar dan luas. Hal ini menunjukan bahwa sang ibu adalah orang yang sangat baik yang selalu memuliakan tamu-tamunya. Di antara sifat istri yang sholehah hendaknya ia menghormati ibu suaminya dan memahami bahwa ibu suaminyalah yang telah melahirkan suaminya yang telah banyak berbuat baik kepadanya. Kemudian hendaknya tidak ada permusuhan antara seorang istri yang sholehah dan ibu suaminya. Dan sesungguhnya tidak perlu adanya permusuhan karena pada hakekatnya tidak ada motivasi yang mendorong pada hal itu jika keduanya menyadari bahwa masing-masing memiliki hak-hak khusus yang berbeda yang harus ditunaikan oleh sang suami.

ابْنُ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا ابْنُ أَبِي زَرْعٍ؟ مَضْجَعُهُ كَمَسَلِّ شَطْبَةٍ وَيُشْبِعُهُ ذِرَاعُ الْجَفْرَةِ

Putra Abu Zar’, siapakah gerangan dia? Tempat tidurnya adalah pedang yang terhunus keluar dari sarungnya, ia sudah kenyang jika memakan lengan anak kambing betina.

Maksud perkataan di atas: Putra suaminya adalah anak yang gagah dan tampan serta pemberani, tidak gemuk karena sedikit makannya, tidak kaku dan lembut, namun sering membawa alat perang dan gagah tatkala berperang.

بِنْتُ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا بِنْتُ أَبِي زَرْعٍ؟ طُوْعُ أَبِيْهَا وَطُوْعُ أُمِّهَا وَمِلْءُ كِسَائِهَا وَغَيْظُ جَارَتِهَا

Putri Abu Zar’, siapakah gerangan dia? Taat kepada ayahnya dan ibunya, tubuhnya segar montok, membuat madunya marah kepadanya.

Maksud perkataan di atas: Ia adalah seorang putri yang berbakti kepada kedua orang tuanya sehingga menjadikannya adalah buah hati kedua orangtuanya. Ia seorang putri yang cantik dan disenangi suaminya hingga menjadikan istri suaminya yang lain cemburu dan marah kepadanya karena kecantikannya tersebut.

جَارِيَةُ أَبِي زَرْعٍ، فَمَا جَارِيَةُ أَبِي زَرْعٍ؟ لاَ تَبُثُّ حَدِيْثَنَا تَبْثِيْثًا وَلاَ تُنَقِّثُ مِيْرَتَنَا تَنْقِيْثًا وَلاَ تَمْلَأُ بَيْتَنَا تَعْشِيْشًا

Budak wanita Abu Zar’, siapakah gerangan dia? Ia menyembunyikan rahasia-rahasia kami dan tidak menyebarkannya, tidak merusak makanan yang kami datangkan dan tidak membawa lari makanan tersebut, serta tidak mengumpulkan kotoran di rumah kami.

Maksud perkataan di atas: Budak wanita tersebut adalah orang yang terpercaya bisa menjaga rahasia dan amanah. Seluruh kejadian atau pembicaraan yang terjadi di dalam rumah tidak tersebar keluar rumah. Ia sangat jauh dari sifat khianat dan sifat mencuri. Dia juga pandai menjaga diri sehingga jauh dari tuduhan tuduhan sehingga ia tidak membawa kotoran (tuduhan-tuduhan jelek) dalam rumah kami.

قَالَتْ خَرَجَ أَبُو زَرْعٍ وَالأَوْطَابُ تُمَخَّضُ فَلَقِيَ امْرَأَةً مَعَهَا وَلَدَانِ لَهَا كَالْفَهْدَيْنِ يَلْعَبَانِ مِنْ تَحْتِ خِصْرِهَا بِرُمَّانَتَيْنِ فَطَلَّقَنِي وَنَكَحَهَا

Keluarlah Abu Zar’ pada saat tempat-tempat dituangkannya susu sedang digoyang-goyang  agar keluar sari susunya, maka ia pun bertemu dengan seorang wanita bersama dua orang anaknya seperti dua ekor macan. Mereka berdua sedang bermain di dekatnya dengan dua buah delima. Maka iapun lalu menceraikanku dan menikahi wanita tersebut.

Maksud perkataan di atas: Abu Zar’ suatu saat keluar di pagi hari pada waktu para pembantu dan para budak sedang sibuk bekerja dan diantara mereka ada yang sedang menggoyang-goyangkan (mengocok-ngocok) susu agar keluar sari susu tersebut. Kemudian ia bertemu dengan seorang wanita yang memiliki dua orang anak yang menunjukan bahwa wanita tersebut adalah wanita yang subur. Hal ini merupakan sebab tertariknya Abu Zar’ untuk menikahi wanita tersebut, karena orang Arab senang dengan wanita yang subur untuk memperbanyak keturunan. Dan sang wanita memiliki dua anak yang masih kecil-kecil yang menunjukan bahwa wanita tersebut masih muda belia. Akhirnya Abu Zar’pun menikahi wanita tersebut dan mencerai Ummu Zar’.

فَنَكَحْتُ بَعْدَهُ رَجُلاً سَرِيًا رَكِبَ شَرِيًّا وَأَخَذَ خَطِّيًّا وَأَرَاحَ عَلَيَّ نَعَمًا ثَرِيًا وَأَعْطَانِي مِنْ كُلِّ رَائِحَةٍ زَوْجًا وَقَالَ كُلِي أُمَّ زَرْعٍ وَمِيْرِي أَهْلَكِ قَالَتْ فَلَوْ جَمَعْتُ كُلَّ شَيْءٍ أَعْطَانِيْهِ مَا بَلَغَ أَصْغَرَ آنِيَةِ أَبِي زَرْعٍ

Setelah itu aku pun menikahi seoerang pria yang terkemuka yang menunggang kuda pilihan balap. Ia mengambil tombak khotthi  lalu  membawa tombak tersebut untuk berperang dan membawa ghonimah berupa onta yang banyak sekali. Ia memberiku sepasang hewan dari hewan-hewan yang disembelih dan berkata, “Makanlah wahai Ummu Zar’ dan berkunjunglah ke keluargamu dengan membawa makanan”. Kalau seandainya aku mengumpulkan semua yang diberikan olehnya maka tidak akan mencapai belanga terkecil Abu Zar’.

Maksud perkataan di atas: Ummu Zar’ setelah itu menikahi seorang pria yang gagah perkasa yang sangat baik kepadanya hingga memberikannya  makanan yang banyak, demikian juga pemberian-pemberian yang lain, bahkan ia memerintahkannya untuk membawa pemberian-pemberian tersebut kepada keluarga Ummu Zar’. Namun meskipun demikian Ummu Zar’ kurang merasa bahagia dan selalu ingat kepada Abu Zar’.

Yang membedakan antara Abu Zar’ dan suaminya yang kedua adalah Abu Zar’ selalu berusaha mengambil hati istrinya, ia tidak hanya memenuhi kebutuhan istrinya akan tetapi kelembutannya dan kasih sayangnyalah yang telah memikat hati istrtinya. Ditambah lagi Abu Zar’ adalah suami pertama dari sang wanita.

قَالَتْ عَائِشَةُ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم كُنْتُ لَكِ كَأِبي زَرْعٍ لِأُمِّ زَرْعٍ

‘Aisyah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Aku bagimu seperti Abu Zar’ bagi Ummu Zar’.

Dalam riwayat lain Aisyah berkata

يَا رَسُوْلَ اللهِ بَلْ أَنْتَ خَيْرٌ إِلَيَّ مِنْ أَبِي زَرْعٍ

Wahai Rasulullah, bahkan engkau lebih baik kepadaku dari pada Abu Zar’” (HR. An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubro 5: 358, no. 9139).

Kisah yang panjang di atas menunjukkan tipe-tipe suami, ada yang berakhlak mulia yang patut kita tiru dan ada yang perangangainya buruk yang harus kita jauhi.

Kisah ini juga menunjukan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang selalu sayang dan perhatian kepada Aisyah. Berbeda dengan sebagian suami yang kasih sayangnya kepada istrinya hanya pada waktu-waktu tertentu saja, dan pada waktu-waktu yang lain tidak demikian. Kisah ini juga mengandung pelajaran bahwa sebaiknya suami berusaha untuk memperhatikan dan menyimak curhatan istrinya, meskipun agak lama seperti dalam kisah ini.

Selain yang telah dipaparkan di atas masih ada beberapa kewajiban suami yaitu memperhatikan agama si istri dengan mendidiknya. Dan yang kedua, mengajak istri untuk taat dalam ibadah. Kedua kewajiban tersebut teramat penting karena berkaitan dengan akhirat. Jadi, si suami bukan hanya memperhatikan bagaiamana biar rumah bisa terus ada asap dapur atau sandang, pangan dan papan. Masalah agama si istri juga sangat perlu, bahkan urgent untuk diperhatikan.

Kelima: Mengajarkan istri masalah agama

Sebagian suami kurang mempedulikan hal ini. Mereka hanya tahu bahwa kewajibannya hanyalah memberi nafkah, pakaian, tempat tinggal atau kesenangan dunia. Kewajiban kali ini sebenarnya terbilang penting bahkan teramat penting karena berkaitan dengan akhirat.

Coba bayangkan jika suami melihat istrinya enggan berjilbab, malas shalat fardhu, sering bermaksiat, atau tidak bisa membaca Al Qur’an, apakah ia rela istrinya seperti itu? Semua itu tentu saja perlu didikan. Selain dibini, yah harus dibina pula. Bukan hanya biologis saja yang ia nikmati dari istri. Seharusnya ada simbiosis mutualisme. Istri bisa membahagiakan suami, begitu pula sebaliknya. Dan kebahagiaan rohani ini lebih dari segalanya, lebih pula dari kebahagiaan dunia.

Semoga menjadi renungan bagi kita –para suami- firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (QS. At Tahrim: 6). Lihatlah tafsiran para salaf mengenai ayat tersebut.

Lihatlah apa yang dikatakan oleh sahabat ‘Ali radhiyallahu ‘anhu,

أدبوهم، عَلموهم.

“Ajarilah adab dan agama kepada mereka”.

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma juga berkata,

اعملوا بطاعة الله، واتقوا معاصي الله، ومُروا أهليكم بالذكر، ينجيكم الله من النار.

“Lakukanlah ketaatan pada Allah dan hindarilah maksiat. Perintahkanlah keluargamu untuk mengingat Allah (berdzikir), niscaya Allah akan menyelamatkan kalian dari jilatan neraka”.

Mujahid berkata,

اتقوا الله، وأوصوا أهليكم بتقوى الله. .

“Bertakwalah pada Allah dan nasehatilah keluargamu untuk bertakwa pada-Nya”.

Adh-Dhohak dan Maqotil berkata,

حق على المسلم أن يعلم أهله، من قرابته وإمائه وعبيده، ما فرض الله عليهم، وما نهاهم الله عنه

“Kewajiban bagi seorang muslim adalah mengajari keluarganya, termasuk kerabat, budak laki-laki atau perempuannya. Ajarkanlah mereka perkara wajib yang Allah perintahkan dan larangan yang Allah larang.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 59)

Ingatlah, termasuk suatu kebahagiaan jika istri, anak dan kerabat kita mendapatkan hidayah. Lihatlah perkataan Al Hasan Al Bashri,

أن يُري الله العبد المسلم من زوجته، ومن أخيه، ومن حميمه طاعة الله. لا والله ما شيء أقر لعين المسلم من أن يرى ولدا، أو ولد ولد، أو أخا، أو حميما مطيعا لله عز وجل.

“Yang ingin dilihat Allah pada hamba muslim dari istri, saudara, dan sahabat karibnya adalah mereka semua taat pada Allah. Wallahi, demi Allah, tidak ada sesuatu yang lebih menyenangkan pandangan mata seorang muslim melebihi ketaatan pada Allah yang ia lihat pada anak, cucu, saudara dan sahabat karibnya.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 10: 333).

Lalu bagaimana jika kita tidak bisa mendidik istri kita karena kita sendiri kurang dalam agama?

Jawabnya, hendaklah suami pun memperbaiki diri. Berusaha untuk mempelajari Islam lebih dalam sehingga ia bisa memperingatkan dan mendidik istrinya di rumah. Lebih maslahat jika istri dididik di rumah dibanding di luar. Itu jika mampu dan ini jalan yang lebih baik. Jika tidak bisa demikian, hendaklah si suami mengajak istri untuk datang ke majelis ilmu sebagaimana dirinya pun demikian. Belajarlah dari ilmu dasar, dimulai dari memperbaiki akidah, tauhid, dan memperbaiki amalan ibadah wajib serta ilmu penting lainnya. Dengan demikian, rumah akan terhiasi dengan cahaya ilmu dan itulah yang akan membuat keluarga semakin tentram dan bahagia.

 

Semoga Allah memudahkan kita untuk mendidik istri dan anak-anak kita dalam hal agama,

sehingga kita pun terbebas dari siksa neraka.

Keenam: Mengajak istri dan anak untuk rajin beribadah

Selain mendidik istri dan anak dalam masalah diin (agama), suami pun berusaha untuk mengajak keluarganya untuk memperhatikan ibadahnya. Terutama sekali hal yang wajib. Didiklah istri dan anak untuk menjaga shalat lima waktu. Didiklah mereka memperhatikan pula amalan wajib lainnya dan sempurnakanlah amalan tersebut dengan amalan sunnah.

Cobalah perhatikan bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk memperhatikan shalat anak-anak kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ

Perhatikanlah anak-anak kalian untuk melaksanakan shalat ketika mereka berumur 7 tahun. Jika mereka telah berumur 10 tahun, namun mereka enggan, pukullah mereka.” (HR. Abu Daud no. 495. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih sebagaimana dalam Irwaul Gholil 298).

Begitu pula beliau memerintahkan pada suami untuk memperhatikan shalat malam istrinya. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رَحِمَ اللهُ رَجُلاً قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَصَلَّتْ، فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِي وَجْهِهَا الْمَاءَ، وَرَحِمَ اللهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا فَصَلَّى فَإِنْ أَبَى نَضَحَتْ فِي وَجْهِهِ الْمَاءَ

Semoga Allah merahmati seorang lelaki yang bangun di waktu malam lalu mengerjakan shalat dan ia membangunkan istrinya lalu si istri mengerjakan shalat. Bila istrinya enggan untuk bangun, ia percikkan air di wajah istrinya. Semoga Allah merahmati seorang wanita yang bangun di waktu malam lalu mengerjakan shalat dan ia membangunkan suami lalu si suami mengerjakan shalat. Bila suaminya enggan untuk bangun, ia percikkan air di wajah suaminya.” (HR. Abu Daud no. 1450, An Nasai no. 1610, dan Ahmad 2: 250. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits hasan sebagaimana dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib 625).

Sungguh kemesraan yang luar biasa di akhir malam. Sedikit yang melakukannya. Dan sedikit pula yang mempedulikan pasangannya untuk shalat malam. Suami tentu saja bisa mengajak istri untuk rajin beribadah dengan ia terlebih dahulu membiasakan dirinya.

Ketujuh: Tidak mempersoalkan kesalahan kecil istri

Inilah petunjuk Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِىَ مِنْهَا آخَرَ

Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah. Jika si pria tidak menyukai suatu akhlak pada si wanita, maka hendaklah ia melihat sisi lain yang ia ridhoi” (HR. Muslim no. 1469).

Karena istri tentu saja dalam bersikap dan kelakuan tidak bisa seratus persen perfect sebagaimana yang suami inginkan. Bersabarlah dan tetap terus menasehati istri dengan cara yang baik.

Kedelapan: Tidak memukul istri di wajah dan tidak menjelek-jelekkan istri

Dari Mu’awiyah Al Qusyairi radhiyallahu ‘anhu, ia bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai kewajiban suami pada istri, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ – أَوِ اكْتَسَبْتَ – وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ

Engkau memberinya makan sebagaimana engkau makan. Engkau memberinya pakaian sebagaimana engkau berpakaian -atau engkau usahakan-, dan engkau tidak memukul istrimu di wajahnya, dan engkau tidak menjelek-jelekkannya serta tidak memboikotnya (dalam rangka nasehat) selain di rumah” (HR. Abu Daud no. 2142. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).

Kenapa tidak boleh memukul wajah istri?

Karena wajah adalah bagian tubuh yang paling mulia dan paling terlihat oleh orang lain. Di wajah terdapat anggota lainnya yang mulia dan lembut. Hadits ini merupakan dalil wajibnya menjauhi memukul wajah ketika mendidik istri.

Dalam hadits di atas pun terdapat ajaran tidak menjelek-jelekkan istri dan tidak mencela atau mendoakan jelek pada istri seperti dengan do’a “semoga Allah menjelakkanmu”. Seperti ini tidak dibolehkan (Lihat ‘Aunul Ma’bud, 6: 127).

Dalam hadits lainnya dari ‘Abdullah bin Zam’ah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

لاَ يَجْلِدُ أَحَدُكُمُ امْرَأَتَهُ جَلْدَ الْعَبْدِ ، ثُمَّ يُجَامِعُهَا فِى آخِرِ الْيَوْمِ

Salah seorang di antara kalian tidak boleh mencambuk istrinya seperti cambukan pada seorang budak lalu ia menyetubuhi istrinya di akhir malam” (HR. Bukhari no. 5204).

‘Aisyah menceritahkan mengenai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ضَرَبَ خَادِماً لَهُ قَطُّ وَلاَ امْرَأَةً لَهُ قَطُّ وَلاَ ضَرَبَ بِيَدِهِ شَيْئاً قَطُّ إِلاَّ أَنْ يُجَاهِدَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ

Aku tidaklah pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memukul pembantu, begitu pula memukul istrinya. Beliau tidaklah pernah memukul sesuatu dengan tangannya kecuali dalam jihad (berperang) di jalan Allah”. (HR. Ahmad 6: 229. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim).

Boleh mendidik istri dengan memukul namun tidak di wajah dan tidak dengan pukulan yang keras atau tidak boleh dengan pukulan yang menampakkan bekas. Sebagaimana nasehat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji wada’,

وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ. فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ

Kewajiban istri bagi kalian adalah tidak boleh permadani kalian ditempati oleh seorang pun yang kalian tidak sukai. Jika mereka melakukan demikian, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membekas” (HR. Muslim no. 1218).

 

Kaedah dalam memukul istri

Diterangkan dalam ayat berikut ini,

وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ

“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya (pembangkangannya), maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.” (QS. An Nisa’: 34).

Disimpulkan bahwa ada tiga kaedah ketika ingin memukul istri:

  1. Ketika nasehat tidak lagi diperhatikan dan tidak ada manfaat setelah berpisah dengan istri dari ranjang.
  2. Pukulannya dalam rangka mendidik dan tidak membekas serta tidak merusak tulang.
  3. Tidak lagi memukul istri ketika istri sudah berubah menjadi taat dan menurut pada perintah suami.

Kesembilan: Tidak meng-hajr (pisah ranjang) dalam rangka mendidik selain di dalam rumah

Hal ini sebagaimana diterangkan dalam ayat dan hadits sebelumnya di atas. Mengenai makna hajr di ranjang pada ayat,

وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ

“Dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka”,

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah mengatakan bahwa maknanya adalah tidak satu ranjang dengannya dan tidak berhubungan intim dengan istri sampai ia sadar dari kesalahannya (Lihat Taisir Al Karimir Rahman, 177).

Ibnul Jauzi menerangkan mengenai makna hajr di ranjang ada beberapa pendapat di kalangan pakar tafsir:

  1. Tidak berhubungan intim
  2. Tidak mengajak berbicara, namun masih tetap berhubungan intim
  3. Mengeluarkan kata-kata yang menyakiti istri ketika diranjang
  4. Pisah ranjang (Dalam: Zaadul Masiir, 2: 76).

Dan hajr boleh dilakukan di luar rumah jika ada maslahat sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meng-hajr istri-istrinya selama sebulan di luar rumah mereka.

Kesepuluh: Memberikan hak istri dalam hubungan intim

Hal ini dapat kita ambil pelajaran dari hadits Abu Darda’ berikut ini.

آخَى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بَيْنَ سَلْمَانَ ، وَأَبِى الدَّرْدَاءِ ، فَزَارَ سَلْمَانُ أَبَا الدَّرْدَاءِ ، فَرَأَى أُمَّ الدَّرْدَاءِ مُتَبَذِّلَةً . فَقَالَ لَهَا مَا شَأْنُكِ قَالَتْ أَخُوكَ أَبُو الدَّرْدَاءِ لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ فِى الدُّنْيَا . فَجَاءَ أَبُو الدَّرْدَاءِ ، فَصَنَعَ لَهُ طَعَامًا . فَقَالَ كُلْ . قَالَ فَإِنِّى صَائِمٌ . قَالَ مَا أَنَا بِآكِلٍ حَتَّى تَأْكُلَ . قَالَ فَأَكَلَ . فَلَمَّا كَانَ اللَّيْلُ ذَهَبَ أَبُو الدَّرْدَاءِ يَقُومُ . قَالَ نَمْ . فَنَامَ ، ثُمَّ ذَهَبَ يَقُومُ . فَقَالَ نَمْ . فَلَمَّا كَانَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ قَالَ سَلْمَانُ قُمِ الآنَ . فَصَلَّيَا ، فَقَالَ لَهُ سَلْمَانُ إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَلأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، فَأَعْطِ كُلَّ ذِى حَقٍّ حَقَّهُ . فَأَتَى النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « صَدَقَ سَلْمَانُ »

Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– telah mempersaudarakan Salman dan Abu Darda’. Suatu saat Salman mengunjungi –saudaranya- Abu Darda’. Ketika itu Salman melihat istrinya, Ummu Darda’, dalam keadaan tidak mengenakkan. Salman pun berkata kepada Ummu Darda’, “Kenapa keadaanmu seperti ini?” “Saudaramu, Abu Darda’, seakan-akan ia tidak lagi mempedulikan dunia”, jawab wanita tersebut. Abu Darda’ kemudian datang. Salman pun membuatkan makanan untuk Abu Darda’. Salman berkata, “Makanlah”. “Maaf, saya sedang puasa”, jawab Abu Darda’. Salman pun berkata, “Aku pun tidak akan makan sampai engkau makan.” Lantas Abu Darda’ menyantap makanan tersebut.

Ketika malam hari tiba, Abu Darda’ pergi melaksanakan shalat malam. Salman malah berkata pada Abu Darda’, “Tidurlah”. Abu Darda’ pun tidur. Namun kemudian ia pergi lagi untuk shalat. Kemudian Salman berkata lagi yang sama, “Tidurlah”. Ketika sudah sampai akhir malam, Salman berkata, “Mari kita berdua shalat.” Lantas Salman berkata lagi pada Abu Darda’, “Sesungguhnya engkau memiliki kewajiban kepada Rabbmu. Engkau juga memiliki kewajiban terhadap dirimu sendiri (yaitu memberi supply makanan dan mengistirahatkan badan, pen), dan engkau pun punya kewajiban pada keluargamu (yaitu melayani istri, pen)Maka berilah porsi yang pas untuk masing-masing kewajiban tadi.” Abu Darda’ lantas mengadukan Salman pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas beliau  bersabda, “Salman itu benar” (HR. Bukhari no. 968).

Menurut pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, suami itu wajib menyetubuhi istrinya sesuai dengan kemampuan suami dan kecukupan istri. Inilah pendapat yang tepat, berbeda dengan pendapat sebagian ulama yang mengharuskan suami harus menyetubuhi istrinya minimal empat bulan sekali. Namun yang tepat adalah pendapat pertama.

Kesebelas: Memberikan istri kesempatan untuk menghadiri shalat jama’ah selama keluar dengan hijab yang sempurna dan juga memberi izin bagi istri untuk mengunjungi kerabatnya, sebagaimana hal ini telah diterangkan dalam kisah Ummu Zar’ dan Abu Zar’ sebelumnya.

Keduabelas: Tidak menyebar rahasia dan aib istri, sebagaimana pernah diterangkan dalam kewajiban istri.

Ketigabelas: Berhias diri di hadapan istri sebagaimana suami menginginkan demikian pada istri

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (QS. Al Baqarah: 228).

Keempatbelas: Selalu berprasangka baik dengan istri

Inilah mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan agar suami tidak terlalu penuh curiga ketika ia meninggalkan istrinya lalu datang dan ingin mengungkap aib-aibnya. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا قَدِمَ أَحَدُكُمْ لَيْلاً فَلاَ يَأْتِيَنَّ أَهْلَهُ طُرُوْقًا حَتَّى تَسْتَحِدَّ الْمَغِيْبَةُ وَتَمْتَشِطَ الشَّعِثَةُ

Jika salah seorang dari kalian datang pada malam hari maka janganlah ia mendatangi istrinya. (Berilah kabar terlebih dahulu) agar wanita yang ditinggal suaminya mencukur bulu-bulu kemaluannya dan menyisir rambutnya” (HR. Bukhari no. 5246 dan Muslim no. 715).

Dari Jabir bin Abdillah, ia berkata,

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ يَطْرُقَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ لَيْلاً يَتَخَوَّنُهُمْ أَوْ يَلْتَمِسُ عَثَرَاتِهِمْ

Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam melarang seseorang mendatangi istrinya di malam hari untuk mencari-cari tahu apakah istrinya berkhianat kepadanya atau untuk mencari-cari kesalahannya” (HR. Muslim no. 715).

Hadits semacam ini kata Al Muhallab adalah dalil yang menunjukkan terlarang mencari-cari kesalahan dan kelengahan istri karena ini adalah bagian dari fitnah dan termasuk berburuk sangka padanya (Lihat Syarh Al Bukhari li Ibni Battol, 13: 372, Asy Syamilah).

Semoga Allah memudahkan kita selaku para suami untuk memenuhi kewajiban ini terhadap istri dan anak-anak kita. Semoga dengan mengamalkannya keluarga kita akan mendapatkan rahmat Allah dan selalu diisi dengan kasih sayang.

 

Wallahu waliyyut taufiq. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

 

Referensi:

  1. ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud, Al ‘Azhim Abadi Abu Ath Thoyyib, terbitan Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut, cetakan kedua, tahun 1415 H
  2. Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, terbitan Al Maktabah At Taufiqiyah, 3: 213-215
  3. Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik, 3: 197-204
  4. Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik, terbitan Al Maktabah At Taufiqiyah, 3: 204-211.
  5. Syarh Al Bukhari li Ibni Battol, Asy Syamilah
  6. Taisir Al Karimir Rahman, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Muassasah Ar Risalah , cetakan pertama, tahun 1423 H
  7. Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, terbitan Al Maktab AIslami, cetakan ketiga, 1404 H

KEWAJIBAN SUAMI

Kewajiban Suami

 

Nas-Nas Al Quran dan Hadis:

  1. Allah Taala berfirman, yang bermaksud:

“Dan gaulilah mereka (isteri-isterimu) dengan cara sebaik-baiknya.” (An Nisa 19).

  1. Dan Allah berfirman lagi:

‘Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban menurut cara yang baik akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan atas isterinya.” (Al Baqarah : 228).

  1. Diceritakan dari Nabi SAW bahwa baginda bersabda pada waktu haji widak (perpisahan) setelah baginda memuji Allah dan menyanjung-Nya serta menasehati para hadirin yang maksudnya:

‘Ingatlah (hai kaumku), terimalah pesanku untuk berbuat baik kepada para isteri, isteri-isteri itu hanyalah dapat diumpamakan tawanan yang berada di sampingmu, kamu tidak dapat memiliki apa-apa dari mereka selain berbuat baik, kecuali kalau isteri-isteri itu melakukan perbuatan yang keji yang jelas (membangkang atau tidak taat) maka tinggalkanlah mereka sendirian di tempat tidur dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai. Kalau isteri-isteri itu taat kepadamu maka janganlah kamu mencari jalan untuk menyusahkan mereka.

Ingatlah! Sesungguhnya kamu mempunyai kewajiban terhadap isteri-isterimu dan sesungguhnya isteri-isterimu itu mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap dirimu. Kemudian kewajiban isteri-isteri terhadap dirimu ialah mereka tidak boleh mengijinkan masuk ke rumahmu orang yang kamu benci. Ingatlah! Kewajiban terhadap mereka ialah bahwa kamu melayani mereka dengan baik dalam soal pakaian dan makanan mereka.
(Riwayat Tarmizi dan Ibnu Majah).

  1. Rasulullah SAW bersabda yang bermaksud:

“Kewajiban seorang suami terhadap isterinya ialah suami harus memberi makan kepadanya jika ia makan dan memberi pakaian kepadanya jika ia berpakaian dan tidak boleh memukul mukanya dan tidak boleh memperolokkan dia dan juga tidak boleh meninggalkannya kecuali dalam tempat tidur (ketika isteri membangkang).” (Riwayat Abu Daud).

  1. Nabi SAW bersabda yang bermaksud:

“Siapa saja seorang laki-laki yang menikahi perempuan dengan mas kawin sedikit atau banyak sedangkan dalam hatinya ia berniat untuk tidak memberikan hak perempuan tersebut (mas kawinnya) kepadanya. maka ia telah menipunya, kemudian jika ia meninggal dunia, sedang ia belum memberi hak perempuan tadi kepadanya maka ia akan menjumpai Allah pada hari Kiamat nanti dalam keadaan berzina.”

  1. Nabi SAW bersabda yang bermaksud:

“Sesungguhnya yang termasuk golongan mukmin yang paling sempurna imannya ialah mereka yang baik budi pekertinya dan mereka yang lebih halus dalam mempergauli keluarganya (isteri anak-anak dan kaum kerabatnya). “

  1. Nabi SAW bersabda yang bermaksud :

“Orang-orang yang terbaik dari kamu sekalian ialah mereka yang lebih baik dari kamu dalam mempergauli keluarganya dan saya adalah orang yang terbaik dari kamu sekalian dalam mempergauli keluargaku.” (Riwayat lbnu Asakir).

  1. Diceritakan dari Nabi SAW bahwa baginda bersabda yang bermaksud:

“Barang siapa yang sabar atas budi pekerti isterinya yang buruk, maka Allah memberinya pahala sama dengan pahala yang diberikan kepada Nabi Ayub a.s karena sabar atas cobaan-Nya.” ( Cobaan ke atas Nabi Ayub ada empat hal: Habis harta bendanya., Meninggal dunia semua anaknya., Hancur badannya., Dijauhi oleh manusia kecuali isterinya benama Rahmah )
” Dan seorang isteri yang sabar atas budi pekerti suaminya yang buruk akan diberi oleh Allah pahala sama dengan pahala Asiah isteri Firaun“.

  1. Al Habib Abdullah Al Haddad berkata:

“seorang laki-laki yang sempurna adalah dia yang mempermudah dalam kewajiban-kewajiban kepadanya dan tidak mempermudah dalam kewajiban-kewajibannya kepada Allah. Dan seorang laki-laki yang kurang ialah dia yang bersifat sebaliknya.” 

Maksud dan penjelasan ini ialah seorang suami yang bersikap sudi memaafkan jika isterinya tidak menghias dirinya dan tidak melayaninya dengan sempurna dan lain-lain tetapi ia bersikap tegas jika isterinya tidak melakukan sholat atau puasa dan lain-lain, itulah suami yang sempurna. Dan seorang suami yang bersikap keras jika isterinya tidak menghias dirinya atau tidak melayaninya dengan sempurna dan lain-lain tetapi bersikap acuh tak acuh (dingin) jika isteri meninggalkan kewajiban-kewajiban kepada Allah seperti sholat, puasa dan lain-lain, dia seorang suami yang kurang.

  1. Dianjurkan bagi seorang suami memperhatikan isterinya (dan mengingatkannya dengan nada yang lembut/halus) dan menafkahinya sesuai kemampuannya dan berlaku tabah (jika disakiti oleh isterinya) dan bersikap halus kepadanya dan mengarahkannya ke jalan yang baik dan mengajamya hukum-hukum agama yang perlu diketahui olehnya seperti bersuci, haid dan ibadah-ibadah yang wajib atau yang sunat.
  2. Allah Taala berfirman yang bermaksud:

‘Hai orang-orang yang beriman! Jagalah dirimu dan ahli keluargamu dari api Neraka.” (At Tahrim : 6)

 

Ibnu Abbas berkata:

Berilah pengetahuan agama kepada mereka dan berilah pelajaran budi pekerti yang bagus kepada mereka.

 

Dan Ibnu Umar dari Nabi SAW bahwa baginda bersabda:

Tiap-tiap kamu adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Seorang imam yang memimpin manusia adalah pemimpin dan ia bertanggung jawab at,is rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dalam mengurusi ahli keluarganya. Ia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Seorang isteri adalah pemimpin dalam rumah tangganya dan bertanggung jawab alas keluarganya. Seorang hamba adalah pemimpin dalam mengurus harta tuannya, ia bertanggung jawab atas peliharaannya. Seorang laki-laki itu adalah pemimpin dalam mengurusi harta ayahnya, ia bertanggung jawab atas peliharaannya. Jadi setiap kamu sekalian adalah pemimpin dan setiap kamu harus bertanggung jawab alas yang dipimpinnya.” (Muttafaq ‘alai ).

  1. Nabi SAW bersabda yang bermaksud:

Takutlah kepada Allah dalam memimpin isteri-istrimu , karena sesungguhnya mereka adalah amanah yang berada disampingmu, barangsiapa tidak memerintahkan sholat kepada isterinya dan tidak mengajarkan agama kepadanya, maka ia telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya.

  1. Allah Taala berfirman yang bermaksud:

Perintahkanlah keluargamu agar melakukan sholat.” (Thaha:132)

  1. Diceritakan dan Nabi SAW bahwa baginda bersabda yang bermaksud: “Tidak ada seseorang yang menjumpai Allah swt dengan membawa dosa yang lebih besar daripada seorang suami yang tidak sanggup mendidik keluarganya.”
    1. Menjadi pemimpin anak isteri di dalam rumah tangga.
    2. Mengajarkan ilmu fardhu ‘ain (wajib) kepada anak isteri yaitu ilmu tauhid, fiqih dan tasawuf.

Dari berbagai dalil di atas, dapat disimpulkan tentang tugas suami adalah:

Ilmu tauhid diajarkan supaya aqidahnya sesuai dengan aqidah Ahli Sunnah wal Jamaah.

Ilmu fiqih diajarkan supaya segala ibadahnya sesuai dengan kehendak agama.

Ilmu tasawuf diajarkan supaya mereka ikhlas dalam beramal dan dapat menjaga segala amalannya daripada dirusakkan oleh rasa riya’ (pamer), bangga, menunjuk-nunjuk orang lain dan lain-lain.

  1. Memberi makan, minum, pakaian dan tempat tinggal dari uang dan usaha yang halal.

Ada ulama berkata:

Sekali memberi pakaian anak isteri yang menyukakan hati mereka dan halal maka suami mendapat pahala selama 70 tahun.

  1. Tidak menzalimi anak isteri yaitu dengan:
    1. Memberikan pendidikan agama yang sempurna.
    2. Memberikan nafkah lahir dan batin secukupnya.
    3. Memberi nasihat serta menegur dan memberi panduan/ petunjuk jika melakukan maksiat atau kesalahan.
    4. Apabila memukul jangan sampai melukakan (melampaui batas).
    5. Memberi nasihat jika isteri gemar bergunjing/bergosip, mengomel serta melakukan sesuatu yang bertentangan dengan perintah agama.
    6. Melayani isteri dengan sebaik-baik pergaulan.
    7. Berbicara dengan isteri dengan lemah-lembut.
    8. Memaafkan keterlanjurannya tetapi sangat memperhatikan kesesuaian tingkah lakunya dengan syariat.
    9. Kurangkan perdebatan.
    10. Memelihara harga diri / kehormatan mereka.

Selain paparan di atas, berikut paparan tambahan yang mengupas tentang kewajiban suami. SEMOGA BERMANFAAT.

Pertama: Bergaul dengan istri dengan cara yang ma’ruf (baik)

Yang dimaksud di sini adalah bergaul dengan baik, tidak menyakiti, tidak menangguhkan hak istri padahal mampu, serta menampakkan wajah manis dan ceria di hadapan istri.

Allah Ta’ala berfirman,

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Dan bergaullah dengan mereka dengan baik.” (QS. An Nisa’: 19).

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (QS. Al Baqarah: 228).

Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى

Sebaik-baik kalian adalah yan berbuat baik kepada keluarganya. Sedangkan aku adalah orang yang  paling berbuat baik pada keluargaku” (HR. Tirmidzi no. 3895, Ibnu Majah no. 1977, Ad Darimi 2: 212, Ibnu Hibban 9: 484. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits inishahih).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata mengenai surat An Nisa’ ayat 19 di atas, “Berkatalah yang baik kepada istri kalian, perbaguslah amalan dan tingkah laku kalian kepada istri. Berbuat baiklah sebagai engkau suka jika istri kalian bertingkah laku demikian.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 3: 400)

Berbuat ma’ruf adalah kalimat yang sifatnya umum, tercakup di dalamnya seluruh hak istri.Nah, setelah ini akan kami utarakan berbagai bentuk berbuat baik kepada istri. Penjelasan ini diperinci satu demi satu agar lebih diperhatikan para suami.

Kedua: Memberi nafkah, pakaian dan tempat tinggal dengan baik

Yang dimaksud nafkah adalah harta yang dikeluarkan oleh suami untuk istri dan anak-anaknya berupa makanana, pakaian, tempat tinggal dan hal lainnya. Nafkah seperti ini adalah kewajiban suami berdasarkan dalil Al Qur’an, hadits, ijma’ dan logika.

Dalil Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya” (QS. Ath Tholaq: 7).

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada istrinya dengan cara ma’ruf” (QS. Al Baqarah: 233).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Bapak dari si anak punya kewajiban dengan cara yang ma’ruf (baik) memberi nafkah pada ibu si anak, termasuk pula dalam hal pakaian. Yang dimaksud dengan cara yang ma’ruf adalah dengan memperhatikan kebiasaan masyarakatnya tanpa bersikap berlebih-lebihan dan tidak pula pelit. Hendaklah ia memberi nafkah sesuai kemampuannya dan yang mudah untuknya, serta bersikap pertengahan dan hemat” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2: 375).

Dari Jabir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika haji wada’,

فَاتَّقُوا اللَّهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ. فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Bertakwalah kepada Allah pada (penunaian hak-hak) para wanita, karena kalian sesungguhnya telah mengambil mereka dengan amanah Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Kewajiban istri bagi kalian adalah tidak boleh permadani kalian ditempati oleh seorang pun yang kalian tidak sukai. Jika mereka melakukan demikian, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakiti. Kewajiban kalian bagi istri kalian adalah memberi mereka nafkah dan pakaian dengan cara yang ma’ruf” (HR. Muslim no. 1218).

Dari Mu’awiyah Al Qusyairi radhiyallahu ‘anhu, ia bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai kewajiban suami pada istri, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ – أَوِ اكْتَسَبْتَ – وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ

Engkau memberinya makan sebagaimana engkau makan. Engkau memberinya pakaian sebagaimana engkau berpakaian -atau engkau usahakan-, dan engkau tidak memukul istrimu di wajahnya, dan engkau tidak menjelek-jelekkannya serta tidak memboikotnya (dalam rangka nasehat) selain di rumah” (HR. Abu Daud no. 2142. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).

Dari Aisyah, sesungguhnya Hindun binti ‘Utbah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang suami yang pelit. Dia tidak memberi untukku dan anak-anakku nafkah yang mencukupi kecuali jika aku mengambil uangnya tanpa sepengetahuannya”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خُذِى مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ

Ambillah dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar sepatutnya” (HR. Bukhari no. 5364).

Lalu berapa besar nafkah yang menjadi kewajiban suami?

Disebutkan dalam ayat,

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.” (QS. Ath Tholaq: 7).

عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ

Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula)” (QS. Al Baqarah: 236).

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hindun,

خُذِى مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ

Ambillah dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar sepatutnya” (HR. Bukhari no. 5364).

Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa yang jadi patokan dalam hal nafkah:

  1. Mencukupi istri dan anak dengan baik, ini berbeda tergantung keadaan, tempat dan zaman.
  2. Dilihat dari kemampuan suami, apakah ia termasuk orang yang dilapangkan dalam rizki ataukah tidak.

Termasuk dalam hal nafkah adalah untuk urusan pakaian dan tempat tinggal bagi istri. Patokannya adalah dua hal yang disebutkan di atas.

Mencari nafkah bagi suami adalah suatu kewajiban dan jalan meraih pahala. Oleh karena itu, bersungguh-sungguhlah menunaikan tugas yang mulia ini.

Ketiga: Mengajarkan istri masalah agama

Sebagian suami kurang mempedulikan hal ini. Mereka hanya tahu bahwa kewajibannya hanyalah memberi nafkah, pakaian, tempat tinggal atau kesenangan dunia. Kewajiban kali ini sebenarnya terbilang penting bahkan teramat penting karena berkaitan dengan akhirat.

Coba bayangkan jika suami melihat istrinya enggan berjilbab, malas shalat fardhu, sering bermaksiat, atau tidak bisa membaca Al Qur’an, apakah ia rela istrinya seperti itu? Semua itu tentu saja perlu didikan. Selain dibini, yah harus dibina pula. Bukan hanya biologis saja yang ia nikmati dari istri. Seharusnya ada simbiosis mutualisme. Istri bisa membahagiakan suami, begitu pula sebaliknya. Dan kebahagiaan rohani ini lebih dari segalanya, lebih pula dari kebahagiaan dunia.

 

Semoga menjadi renungan bagi kita –para suami- firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (QS. At Tahrim: 6). Lihatlah tafsiran para salaf mengenai ayat tersebut.

Lihatlah apa yang dikatakan oleh sahabat ‘Ali radhiyallahu ‘anhu,

أدبوهم، عَلموهم.

“Ajarilah adab dan agama kepada mereka”.

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma juga berkata,

اعملوا بطاعة الله، واتقوا معاصي الله، ومُروا أهليكم بالذكر، ينجيكم الله من النار.

“Lakukanlah ketaatan pada Allah dan hati-hatilahlah dengan maksiat. Perintahkanlah keluargamu untuk mengingat Allah (berdzikir), niscaya Allah akan menyelamatkan kalian dari jilatan neraka”.

Mujahid berkata,

اتقوا الله، وأوصوا أهليكم بتقوى الله. .

“Bertakwalah pada Allah dan nasehatilah keluargamu untuk bertakwa pada-Nya”.

Adh Dhohak dan Maqotil berkata,

حق على المسلم أن يعلم أهله، من قرابته وإمائه وعبيده، ما فرض الله عليهم، وما نهاهم الله عنه

“Kewajiban bagi seorang muslim adalah mengajari keluarganya, termasuk kerabat, budak laki-laki atau perempuannya. Ajarkanlah mereka perkara wajib yang Allah perintahkan dan larangan yang Allah larang.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14: 59).

Ingatlah, termasuk suatu kebahagiaan jika istri, anak dan kerabat kita mendapatkan hidayah. Lihatlah perkataan Al Hasan Al Bashri,

أن يُري الله العبد المسلم من زوجته، ومن أخيه، ومن حميمه طاعة الله. لا والله ما شيء أقر لعين المسلم من أن يرى ولدا، أو ولد ولد، أو أخا، أو حميما مطيعا لله عز وجل.

“Yang ingin dilihat Allah pada hamba muslim dari istri, saudara, dan sahabat karibnya adalah mereka semua taat pada Allah. Wallahi, demi Allah, tidak ada sesuatu yang lebih menyenangkan pandangan mata seorang muslim melebihi ketaatan pada Allah yang ia lihat pada anak, cucu, saudara dan sahabat karibnya.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 10: 333).

Lalu bagaimana jika kita tidak bisa mendidik istri kita karena kita sendiri kurang dalam agama?

Jawabnya, hendaklah suami pun memperbaiki diri. Berusaha untuk mempelajari Islam lebih dalam sehingga ia bisa memperingatkan dan mendidik istrinya di rumah. Lebih maslahat jika istri dididik di rumah dibanding di luar. Itu jika mampu dan ini jalan yang lebih baik. Jika tidak bisa demikian, hendaklah si suami mengajak istri untuk datang ke majelis ilmu sebagaimana dirinya pun demikian. Belajarlah dari ilmu dasar, dimulai dari memperbaiki akidah, tauhid, dan memperbaiki amalan ibadah wajib serta ilmu penting lainnya. Dengan demikian, rumah akan terhiasi dengan cahaya ilmu dan itulah yang akan membuat keluarga semakin tentram dan bahagia.

Semoga Allah memudahkan kita untuk mendidik istri dan anak-anak kita dalam hal agama, sehingga kita pun terbebas dari siksa neraka.

Keempat: Mengajak istri dan anak untuk rajin beribadah

Selain mendidik istri dan anak dalam masalah diin (agama), suami pun berusaha untuk mengajak keluarganya untuk memperhatikan ibadahnya. Terutama sekali hal yang wajib. Didiklah istri dan anak untuk menjaga shalat lima waktu. Didiklah mereka memperhatikan pula amalan wajib lainnya dan sempurnakanlah amalan tersebut dengan amalan sunnah.

Cobalah perhatikan bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk memperhatikan shalat anak-anak kita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ

Perhatikanlah anak-anak kalian untuk melaksanakan shalat ketika mereka berumur 7 tahun. Jika mereka telah berumur 10 tahun, namun mereka enggan, pukullah mereka.” (HR. Abu Daud no. 495. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih sebagaimana dalam Irwaul Gholil 298).

Begitu pula beliau memerintahkan pada suami untuk memperhatikan shalat malam istrinya. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رَحِمَ اللهُ رَجُلاً قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَصَلَّتْ، فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِي وَجْهِهَا الْمَاءَ، وَرَحِمَ اللهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا فَصَلَّى فَإِنْ أَبَى نَضَحَتْ فِي وَجْهِهِ الْمَاءَ

Semoga Allah merahmati seorang lelaki yang bangun di waktu malam lalu mengerjakan shalat dan ia membangunkan istrinya lalu si istri mengerjakan shalat. Bila istrinya enggan untuk bangun, ia percikkan air di wajah istrinya. Semoga Allah merahmati seorang wanita yang bangun di waktu malam lalu mengerjakan shalat dan ia membangunkan suami lalu si suami mengerjakan shalat. Bila suaminya enggan untuk bangun, ia percikkan air di wajah suaminya.” (HR. Abu Daud no. 1450, An Nasai no. 1610, dan Ahmad 2: 250. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits hasan sebagaimana dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib 625).

Sungguh kemesraan yang luar biasa di akhir malam. Sedikit yang melakukannya. Dan sedikit pula yang mempedulikan pasangannya untuk shalat malam. Suami tentu saja bisa mengajak istri untuk rajin beribadah dengan ia terlebih dahulu membiasakan dirinya.

Semoga Allah memudahkan kita untuk menjalankan ketaatan, menjaga ibadah wajib dan merutinkan sunnah, sehingga itu pun bisa tertular pada istri dan anak-anak kita.

 

Referensi: Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik, 3: 197-204

KEWAJIBAN ISTRI

Kewajiban Istri

 

Pasutri pasti selalu menginginkan keluarganya terus tentram dan langgeng. Namun kadang yang terjadi di tengah-tengah pernikahan adalah pertengkaran dan perselisihan. Ini boleh jadi karena tidak mengetahui manakah yang menjadi hak atau kewajiban dari masing-masing pasutri. Oleh karena itu, mengetahui kewajiban suami atau kewajiban istri sangatlah penting. Sehingga istri atau suami masing-masing mengetahui manakah tugas yang mesti ia emban dalam rumah tangga.

Hak suami yang menjadi kewajiban istri asalnya dijelaskan dalam ayat berikut ini:

 

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.” (QS. An Nisa’: 34)

Hak suami yang menjadi kewajiban istri amatlah besar sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ لأَزْوَاجِهِنَّ لِمَا جَعَلَ اللَّهُ لَهُمْ عَلَيْهِنَّ مِنَ الْحَقِّ

Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk sujud pada yang lain, maka tentu aku akan memerintah para wanita untuk sujud pada suaminya karena Allah telah menjadikan begitu besarnya hak suami yang menjadi kewajiban istri” (HR. Abu Daud no. 2140, Tirmidzi no. 1159, Ibnu Majah no. 1852 dan Ahmad 4: 381. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Ketaatan seorang istri pada suami termasuk sebab yang menyebabkannya masuk surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِى الْجَنَّةَ مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ

Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad 1: 191 dan Ibnu Hibban 9: 471. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,

وليس على المرأة بعد حق الله ورسوله أوجب من حق الزوج

Tidak ada hak yang lebih wajib untuk ditunaikan seorang wanita –setelah hak Allah dan Rasul-Nya- daripada hak suami” (Majmu’ Al Fatawa, 32: 260)

Jika kewajiban istri pada suami adalah semulia itu, maka setiap wanita punya keharusan mengetahui hak-hak suami yang harus ia tunaikan.

Berikut adalah rincian mengenai hak suami yang menjadi kewajiban istri:

Pertama: Mentaati perintah suami

Istri yang taat pada suami, senang dipandang dan tidak membangkang yang membuat suami benci, itulah sebaik-baik wanita. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ

Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci” (HR. An-Nasai no. 3231 dan Ahmad 2: 251. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)

Begitu pula tempat seorang wanita di surga ataukah di neraka dilihat dari sikapnya terhadap suaminya, apakah ia taat ataukah durhaka.

Al Hushoin bin Mihshan menceritakan bahwa bibinya pernah datang ke tempat Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam karena satu keperluan. Seselesainya dari keperluan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya,

أَذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قَالَتْ: مَا آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ. قَالَ: فَانْظُرِيْ أينَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ

Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab, “Sudah.” “Bagaimana (sikap) engkau terhadap suamimu?”, tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi. Ia menjawab, “Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lihatlah di mana keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan suamimu, karena suamimu adalah surga dan nerakamu.” (HR. Ahmad 4: 341 dan selainnya. Hadits ini shahih sebagaimana kata Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1933).

Namun ketaatan istri pada suami tidaklah mutlak. Jika istri diperintah suami untuk tidak berjilbab, berdandan menor di hadapan pria lain, meninggalkan shalat lima waktu, atau bersetubuh di saat haidh, maka perintah dalam maksiat semacam ini tidak boleh ditaati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ

Tidak ada ketaatan dalam perkara maksiat.Ketaatan itu hanyalah dalam perkara yang ma’ruf(kebaikan).” (HR. Bukhari no. 7145 dan Muslim no. 1840).

 

Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan,

لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ

Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah.” (HR. Ahmad 1: 131. Sanad hadits ini shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth).

Kedua: Berdiam di rumah dan tidaklah keluar kecuali dengan izin suami

Allah Ta’ala berfirman,

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” (QS. Al Ahzab: 33).

Seorang istri tidak boleh keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya. Baik si istri keluar untuk mengunjungi kedua orangtuanya ataupun untuk kebutuhan yang lain, sampaipun untuk keperluan shalat di masjid.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak halal bagi seorang istri keluar dari rumah kecuali dengan izin suaminya.” Beliau juga berkata, “Bila si istri keluar rumah suami tanpa izinnya berarti ia telah berbuat nusyuz (pembangkangan), bermaksiat kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, serta pantas mendapatkan siksa.” (Majmu’ Al-Fatawa, 32: 281)

Ketiga: Taat pada suami ketika diajak ke ranjang

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِىءَ لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

Jika seorang pria mengajak istrinya ke ranjang, lantas si istri enggan memenuhinya, maka malaikat akan melaknatnya hingga waktu Shubuh” (HR. Bukhari no. 5193 dan Muslim no. 1436).

 

Dalam riwayat Muslim disebutkan dengan lafazh,

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهَا فَتَأْبَى عَلَيْهِ إِلاَّ كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا

Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak ajakan suaminya melainkan yang di langit (penduduk langit) murka pada istri tersebut sampai suaminya ridha kepadanya.” (HR. Muslim no. 1436)

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ini adalah dalil haramnya wanita enggan mendatangi ranjang jika tidak ada uzur. Termasuk haid bukanlah uzur karena suami masih bisa menikmati istri di atas kemaluannya” (Syarh Shahih Muslim, 10: 7). Namun jika istri ada halangan, seperti sakit atau kecapekan, maka itu termasuk uzur dan suami harus memaklumi hal ini.

Keempat: Tidak mengizinkan orang lain masuk rumah kecuali dengan izin suami

Pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada haji Wada’,

فَاتَّقُوا اللَّهَ فِى النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ

Bertakwalah kalian dalam urusan para wanita (istri-istri kalian), karena sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanah dari Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian atas mereka adalah mereka tidak boleh mengizinkan seorang pun yang tidak kalian sukai untuk menginjak permadani kalian” (HR. Muslim no. 1218)

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ، وَلاَ تَأْذَنَ فِى بَيْتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ ، وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ نَفَقَةٍ عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّهُ يُؤَدَّى إِلَيْهِ شَطْرُه

Tidak halal bagi seorang isteri untuk berpuasa (sunnah), sedangkan suaminya ada kecuali dengan izinnya. Dan ia tidak boleh mengizinkan orang lain masuk rumah suami tanpa ijin darinya. Dan jika ia menafkahkan sesuatu tanpa ada perintah dari suami, maka suami mendapat setengah pahalanya”. (HR.  Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026).

Dalam lafazh Ibnu Hibban disebutkan hadits dari Abu Hurairah,

لاَ تَأْذَنُ المَرْأَةُ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَهُوَ شَاهِدُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

Tidak boleh seorang wanita mengizinkan seorang pun untuk masuk di rumah suaminya sedangkan suaminya ada melainkan dengan izin suaminya.” (HR. Ibnu Hibban 9: 476. Kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim).

Hadits di atas dipahami jika tidak diketahui ridho suami ketika ada orang lain yang masuk. Adapun jika seandainya suami ridho dan asalnya membolehkan orang lain itu masuk, maka tidaklah masalah. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 3: 193)

Kelima: Tidak berpuasa sunnah ketika suami ada kecuali dengan izin suami

Para fuqoha telah sepakat bahwa seorang wanita tidak diperkenankan untuk melaksanakan puasa sunnah melainkan dengan izin suaminya (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99). Dalam hadits yang muttafaqun ‘alaih, dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

Tidaklah halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sedangkan suaminya ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya.” (HR. Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026).

Dalam lafazh lainnya disebutkan,

لاَ تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ غَيْرَ رَمَضَانَ

Tidak boleh seorang wanita berpuasa selain puasa Ramadhan sedangkan suaminya sedang ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya” (HR. Abu Daud no. 2458. An Nawawi dalam Al Majmu’ 6: 392 mengatakan, “Sanad riwayat ini shahih sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim”).

Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan izin bisa jadi dengan ridho suami. Ridho suami sudah sama dengan izinnya. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99)

Imam Nawawi rahimahullah menerangkan, “Larangan pada hadits di atas dimaksudkan untuk puasa tathowwu’ dan puasa sunnah yang tidak ditentukan waktunya. Menurut ulama Syafi’iyah, larangan yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah larangan haram.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 115).

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud larangan puasa tanpa izin suami di sini adalah untuk puasa selain puasa di bulan Ramadhan. Adapun jika puasanya adalah wajib, dilakukan di luar Ramadhan dan waktunya masih lapang untuk menunaikannya, maka tetap harus dengan izin suami. … Hadits ini menunjukkan diharamkannya puasa yang dimaksudkan tanpa izin suami. Demikianlah pendapat mayoritas ulama.” (Fathul Bari, 9: 295).

Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah disebutkan, “Jika seorang wanita menjalankan puasa (selain puasa Ramadhan) tanpa izin suaminya, puasanya tetap sah, namun ia telah melakukan keharaman. Demikian pendapat mayoritas fuqoha. Ulama Hanafiyah menganggapnyamakruh tahrim. Ulama Syafi’iyah menyatakan seperti itu haram jika puasanya berulang kali. Akan tetapi jika puasanya tidak berulang kali (artinya, memiliki batasan waktu tertentu) seperti puasa ‘Arofah, puasa ‘Asyura, puasa enam hari di bulan Syawal, maka boleh dilakukan tanpa izin suami, kecuali jika memang suami melarangnya.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99).

Jadi, puasa yang mesti dilakukan dengan izin suami ada dua macam: (1) puasa sunnah yang tidak memiliki batasan waktu tertentu (seperti puasa senin kamis, (2) puasa wajib yang masih ada waktu longgar untuk melakukannya. Contoh dari yang kedua adalah qodho’ puasa yang waktunya masih longgar sampai Ramadhan berikutnya.

Jika Suami Tidak di Tempat

Berdasarkan pemahaman dalil yang telah disebutkan, jika suami tidak di tempat, maka istri tidak perlu meminta izin pada suami ketika ingin melakukan puasa sunnah. Keadaan yang dimaksudkan seperti ketika suami sedang bersafar, sedang sakit, sedang berihrom atau suami sendiri sedang puasa (Lihat Fathul Bari, 9: 296 dan Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99) Kondisi sakit membuat suami tidak mungkin melakukan jima’ (hubungan badan). Keadaan ihrom terlarang untuk jima’, begitu pula ketika suami sedang puasa. Inilah yang dimaksud kondisi suami tidak di tempat.

Hikmah Mengapa Harus dengan Izin Suami

Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menerangkan, “Dalam hadits yang menerangkan masalah ini terdapat pelajaran bahwa menunaikan hak suami itu lebih utama daripada menjalankan kebaikan yang hukumnya sunnah. Karena menunaikan hak suami adalah suatu kewajiban. Menjalankan yang wajib tentu mesti didahulukan dari menjalankan ibadah yang sifatnya sunnah.” (Fathul Bari, 9/296)

Imam Nawawi rahimahullah menerangkan, “Sebab terlarangnya berpuasa tanpa izin suami di atas adalah karena suami memiliki hak untuk bersenang-senang (dengan bersetubuh, pen) bersama pasangannya setiap harinya. Hak suami ini tidak bisa ditunda karena sebab ia melakukan puasa sunnah atau melakukan puasa wajib yang masih bisa ditunda.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 115).

Jalan menuju surga bagi wanita adalah amat mudah. Cukup taat dan bakti pada suami, itu sudah memudahkan jalannya.

Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban, shahih). Tulisan kali ini akan mengulas lanjutan dari tulisan sebelumnya, mengenai kewajiban istri yang menjadi hak suami. Semoga Allah memudahkan setiap wanita muslimah mengamalkannya.

Keenam: Tidak menginfakkan harta suami kecuali dengan izinnya

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُنْفِقُ امْرَأَةٌ شَيْئًا مِنْ بَيْتِ زَوْجِهَا إِلاَّ بِإِذْنِ زَوْجِهَا

Janganlah seorang wanita menginfakkan sesuatu dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya” (HR. Tirmidzi no. 670. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan)

Ketujuh: Berkhidmat pada suami dan anak-anaknya

Semestinya seorang istri membantu suaminya dalam kehidupannya. Hal ini telah dicontohkan oleh istri-istri shalihah dari kalangan shahabiyah seperti yang dilakukan Asma` bintu Abi Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhuma yang berkhidmat kepada suaminya, Az-Zubair ibnul ‘Awwam radhiyallahu ‘anhu. Ia mengurusi hewan tunggangan suaminya, memberi makan dan minum kudanya, menjahit dan menambal embernya, serta mengadon tepung untuk membuat kue. Ia yang memikul biji-bijian dari tanah milik suaminya sementara jarak tempat tinggalnya dengan tanah tersebut sekitar 2/3 farsakh.” (HR. Bukhari no. 5224 dan Muslim no. 2182).

Demikian pula khidmat Fathimah binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah suaminya, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Sampai-sampai kedua tangannya lecet karena menggiling gandum. (HR. Bukhari no. 5361 dan Muslim no. 2182)

Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, menikahi seorang janda agar bisa berkhidmat padanya dengan mengurusi 7 atau 9 saudara perempuannya yang masih belia. Kata Jabir kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ayahku, Abdullah, telah wafat dan ia meninggalkan banyak anak perempuan. Aku tidak suka mendatangkan di tengah-tengah mereka wanita yang sama dengan mereka. Maka aku pun menikahi seorang wanita yang bisa mengurusi dan merawat mereka.” Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan Jabir,

فَباَرَكَ اللهُ لَكَ – أَوْ: خَيْرًا –

Semoga Allah memberkahimu.” Atau beliau berkata, “Semoga kebaikan untukmu.” (HR. Muslim no. 715).

 

Kedelapan: Menjaga kehormatan, anak dan harta suami

Allah Ta’ala berfirman,

فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ

Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada” (QS. An Nisa’: 34). Ath Thobari mengatakan dalam kitab tafsirnya (6: 692), “Wanita tersebut menjaga dirinya ketika tidak ada suaminya, juga ia menjaga kemaluan dan harta suami. Di samping itu, iawajib menjaga hak Allah dan hak selain itu.”

Kesembilan: Bersyukur dengan pemberian suami

Seorang istri harus pandai-pandai berterima kasih kepada suaminya atas semua yang telah diberikan suaminya kepadanya. Bila tidak, si istri akan berhadapan dengan ancaman neraka Allah Ta’ala.

Seselesainya dari shalat Kusuf (shalat Gerhana), Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda menceritakan surga dan neraka yang diperlihatkan kepada beliau ketika shalat,

وَرَأَيْتُ النَّارَ فَلَمْ أَرَ كَالْيَوْمِ مَنْظَرًا قَطُّ وَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ. قَالُوا: لِمَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: بِكُفْرِهِنَّ. قِيْلَ: يَكْفُرْنَ بِاللهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ وَيَكْفُرْنَ اْلإِحْسَانَ، لَوْ أَََحْسَنْتَ إِلىَ إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ

“Dan aku melihat neraka. Aku belum pernah sama sekali melihat pemandangan seperti hari ini. Dan aku lihat ternyata mayoritas penghuninya adalah para wanita.” Mereka bertanya, “Kenapa para wanita menjadi mayoritas penghuni neraka, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Disebabkan kekufuran mereka.” Ada yang bertanya kepada beliau, “Apakah para wanita itu kufur kepada Allah?” Beliau menjawab, “(Tidak, melainkan) mereka kufur kepada suami dan mengkufuri kebaikan (suami). Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang istri kalian pada suatu waktu, kemudian suatu saat ia melihat darimu ada sesuatu (yang tidak berkenan di hatinya) niscaya ia akan berkata, ‘Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan darimu’.” (HR. Bukhari no. 5197 dan Muslim no. 907). Lihatlah bagaimana kekufuran si wanita cuma karena melihat kekurangan suami sekali saja, padahal banyak kebaikan lainnya yang diberi. Hujan setahun seakan-akan terhapus dengan kemarau sehari.

Kesepuluh: Berdandan cantik dan berhias diri di hadapan suami

Sebagian istri saat ini di hadapan suami bergaya seperti tentara, berbau arang (alias: dapur) dan jarang mau berhias diri. Namun ketika keluar rumah, ia keluar bagai bidadari. Ini sungguh terbalik. Seharusnya di dalam rumah, ia berusaha menyenangkan suami. Demikianlah yang dinamakan sebaik-baik wanita. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ

Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci” (HR. An-Nasai no. 3231 dan Ahmad 2: 251. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).

Kesebelas: Tidak mengungkit-ngungkit pemberian yang diinfakkan kepada suami dan anak-anaknya dari hartanya

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)” (QS. Al Baqarah: 264).

 

 

 

Keduabelas: Ridho dengan yang sedikit, memiliki sifat qona’ah (merasa cukup) dan tidak membebani suami lebih dari kemampuannya

Allah Ta’ala berfirman,

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا

Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath Tholaq: 7)

Ketigabelas: Tidak menyakiti suami dan tidak membuatnya marah

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ : لاَ تُؤْذِيْهِ , قَاتَلَكِ اللهُ , فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكَ دَخِيْلٌ يُوْشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا

Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di dunia melainkan istrinya dari kalangan bidadari akan berkata, “Janganlah engkau menyakitinya. Semoga Allah memusuhimu. Dia (sang suami) hanyalah tamu di sisimu; hampir saja ia akan meninggalkanmu menuju kepada kami”. (HR. Tirmidzi no. 1174 dan Ahmad 5: 242. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Keempatbelas: Berbuat baik kepada orang tua dan kerabat suami

Kelimabelas: Terus ingin hidup bersama suami dan tidak meminta untuk ditalak kecuali jika ada alasan yang benar

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الجَنَّةِ .

Wanita mana saja yang meminta talak kepada suaminya tanpa ada alasan (yang dibenarkan oleh syar’i), maka haram baginya mencium wangi surga.” (HR. Tirmidzi no. 1199, Abu Daud no. 2209, Ibnu Majah no. 2055. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits inishahih)

Keenambelas: Berkabung ketika meninggalnya suami selama 4 bulan 10 hari

Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُ‌ونَ أَزْوَاجًا يَتَرَ‌بَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْ‌بَعَةَ أَشْهُرٍ‌ وَعَشْرً‌ا  فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُ‌وفِ  وَاللَّـهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ‌

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. Al Baqarah: 234).

Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ ، إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

Tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung atas kematian seseorang lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, yaitu (selama) empat bulan sepuluh hari.” (HR. Bukhari no. 5334 dan Muslim no. 1491).

 

Sholat Sunnah

SHALAT SUNNAH YANG BISA DIRUTINKAN

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Amalan yang terbaik adalah yang ajeg (kontinu) walau jumlahnya sedikit. Begitu pula dalam shalat sunnah, beberapa di antaranya bisa kita jaga rutin karena itulah yang dicintai oleh Allah. Apa saja amalan shalat sunnah tersebut? Berikut kami sebutkan keutamaannya, semoga membuat kita semangat untuk menjaga dan merutinkannya.

Pertama: Shalat Sunnah Rawatib

Mengenai keutamaan shalat sunnah rawatib diterangkan dalam hadits berikut ini. Ummu Habibah berkata bahwa ia mendengar Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَلَّى اثْنَتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِى يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِىَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِى الْجَنَّةِ

Barangsiapa yang mengerjakan shalat 12 raka’at (sunnah rawatib) sehari semalam, akan dibangunkan baginya rumah di surga.” (HR. Muslim no. 728)

Dalam riwayat At Tirmidzi sama dari Ummu Habibah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَلَّى فِى يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً بُنِىَ لَهُ بَيْتٌ فِى الْجَنَّةِ أَرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلاَةِ الْفَجْرِ

Barangsiapa sehari semalam mengerjakan shalat 12 raka’at (sunnah rawatib), akan dibangunkan baginya rumah di surga, yaitu: 4 raka’at sebelum Zhuhur, 2 raka’at setelah Zhuhur, 2 raka’at setelah Maghrib, 2 raka’at setelah ‘Isya dan 2 raka’at sebelum Shubuh.” (HR. Tirmidzi no. 415 dan An Nasai no. 1794, kata Syaikh Al Albani hadits ini shahih).

Yang lebih utama dari shalat rawatib adalah shalat sunnah fajar (shalat sunnah qobliyah shubuh).  ‘Aisyah berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا

Dua rakaat sunnah fajar (subuh) lebih baik dari dunia dan seisinya.”  (HR. Muslim no. 725)

Juga dalam hadits ‘Aisyah yang lainnya, beliau berkata,

لَمْ يَكُنْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى شَيْءٍ مِنْ النَّوَافِلِ أَشَدَّ مِنْهُ تَعَاهُدًا عَلَى رَكْعَتَيْ الْفَجْرِأخرجه الشيخان

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan satu pun shalat sunnah yang kontinuitasnya (kesinambungannya) melebihi dua rakaat (shalat rawatib) Shubuh.” (HR. Bukhari no. 1169 dan Muslim no. 724)

Kedua: Shalat Tahajud (Shalat Malam)

Allah Ta’ala berfirman,

أَمْ مَنْ هُوَ قَانِتٌ آَنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآَخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ

(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. ” (QS. Az Zumar: 9).

Yang dimaksud qunut dalam ayat ini bukan hanya berdiri, namun juga disertai dengan khusu’ (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 12: 115). Salah satu maksud ayat ini, “Apakah sama antara orang yang berdiri untuk beribadah (di waktu malam) dengan orang yang tidak demikian?!” (Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 7/166). Jawabannya, tentu saja tidak sama.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ

Sebaik-baik puasa setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah –Muharram-. Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163, dari Abu Hurairah)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ فَإِنَّهُ دَأْبُ الصَّالِحِيْنَ قَبْلَكُمْ وَهُوَ قُرْبَةٌ إِلَى رَبِّكُمْ وَمُكَفِّرَةٌ لِلسَّيِّئَاتِ وَمَنْهَاةٌ عَنِ الإِثْمِ

Hendaklah kalian melaksanakan qiyamul lail (shalat malam) karena shalat amalan adalah kebiasaan orang sholih sebelum kalian dan membuat kalian lebih dekat pada Allah. Shalat malam dapat menghapuskan kesalahan dan dosa. ” (Lihat Al Irwa’ no. 452. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu berkata, “Shalat hamba di tengah malam akan menghapuskan dosa.” Lalu beliau membacakan firman Allah Ta’ala,

تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ

Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, …” (HR. Imam Ahmad dalam Al Fathur Robbani 18/231. Bab “تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ “).

‘Amr bin Al ‘Ash radhiyallahu ‘anhu berkata, “Satu raka’at shalat malam itu lebih baik dari sepuluh rakaat shalat di siang hari.” (Disebutkan oleh Ibnu Rajab dalam Lathoif Ma’arif 42 dan As Safarini dalam Ghodzaul Albaab 2: 498)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Barangsiapa yang shalat malam sebanyak dua raka’at maka ia dianggap telah bermalam karena Allah Ta’ala dengan sujud dan berdiri.” (Disebutkan oleh An Nawawi dalam At Tibyan 95).

Ada yang berkata pada Al Hasan Al Bashri , “Begitu menakjubkan orang yang shalat malam sehingga wajahnya nampak begitu indah dari lainnya.” Al Hasan berkata, “Karena mereka selalu bersendirian dengan Ar Rahman -Allah Ta’ala-. Jadinya Allah memberikan di antara cahaya-Nya pada mereka.”

Abu Sulaiman Ad Darini berkata, “Orang yang rajin shalat malam di waktu malam, mereka akan merasakan kenikmatan lebih dari orang yang begitu girang dengan hiburan yang mereka nikmati. Seandainya bukan karena nikmatnya waktu malam tersebut, aku tidak senang hidup lama di dunia.” (Lihat Al Lathoif 47 dan Ghodzaul Albaab 2: 504)

Imam Ahmad berkata, “Tidak ada shalat yang lebih utama dari shalat lima waktu (shalat maktubah) selain shalat malam.” (Lihat Al Mughni 2/135 dan Hasyiyah Ibnu Qosim 2/219)

Tsabit Al Banani berkata, “Saya merasakan kesulitan untuk shalat malam selama 20 tahun dan saya akhirnya menikmatinya 20 tahun setelah itu.” (Lihat Lathoif Al Ma’arif 46). Jadi total beliau membiasakan shalat malam selama 40 tahun. Ini berarti shalat malam itu butuh usaha, kerja keras dan kesabaran agar seseorang terbiasa mengerjakannya.

Ada yang berkata pada Ibnu Mas’ud, “Kami tidaklah sanggup mengerjakan shalat malam.” Beliau lantas menjawab, “Yang membuat kalian sulit karena dosa yang kalian perbuat.” (Ghodzaul Albaab, 2/504)

Lukman berkata pada anaknya, “Wahai anakku, jangan sampai suara ayam berkokok mengalahkan kalian. Suara ayam tersebut sebenarnya ingin menyeru kalian untuk bangun di waktu sahur, namun sayangnya kalian lebih senang terlelap tidur.” (Al Jaami’ li Ahkamil Qur’an 1726)

Ketiga: Shalat Witir

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرً

Jadikanlah akhir shalat malam kalian adalah shalat witir.” (HR. Bukhari no. 998 dan Muslim no. 751).

Keempat: Shalat Dhuha

Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,

يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلاَمَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْىٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى

Pada pagi hari diharuskan bagi seluruh persendian di antara kalian untuk bersedekah. Setiap bacaan tasbih (subhanallah) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahmid (alhamdulillah) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahlil (laa ilaha illallah) bisa sebagai sedekah, dan setiap bacaan takbir (Allahu akbar) juga bisa sebagai sedekah. Begitu pula amar ma’ruf (mengajak kepada ketaatan) dan nahi mungkar (melarang dari kemungkaran) adalah sedekah. Ini semua bisa dicukupi (diganti) dengan melaksanakan shalat Dhuha sebanyak 2 raka’at.” (HR. Muslim no.  720)

Padahal persendian yang ada pada seluruh tubuh kita sebagaimana dikatakan dalam hadits dan dibuktikan dalam dunia kesehatan adalah 360 persendian. ‘Aisyah pernah menyebutkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّهُ خُلِقَ كُلُّ إِنْسَانٍ مِنْ بَنِى آدَمَ عَلَى سِتِّينَ وَثَلاَثِمَائَةِ مَفْصِلٍ

Sesungguhnya setiap manusia keturunan Adam diciptakan dalam keadaan memiliki 360 persendian.” (HR. Muslim no. 1007)

Hadits ini menjadi bukti selalu benarnya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun sedekah dengan 360 persendian ini dapat digantikan dengan shalat Dhuha sebagaimana disebutkan pula dalam hadits berikut,

أَبِى بُرَيْدَةَ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « فِى الإِنْسَانِ سِتُّونَ وَثَلاَثُمِائَةِ مَفْصِلٍ فَعَلَيْهِ أَنْ يَتَصَدَّقَ عَنْ كُلِّ مَفْصِلٍ مِنْهَا صَدَقَةً ». قَالُوا فَمَنِ الَّذِى يُطِيقُ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « النُّخَاعَةُ فِى الْمَسْجِدِ تَدْفِنُهَا أَوِ الشَّىْءُ تُنَحِّيهِ عَنِ الطَّرِيقِ فَإِنْ لَمْ تَقْدِرْ فَرَكْعَتَا الضُّحَى تُجْزِئُ عَنْكَ »

Dari Buraidah, beliau mengatakan bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Manusia memiliki 360 persendian. Setiap persendian itu memiliki kewajiban untuk bersedekah.” Para sahabat pun mengatakan, “Lalu siapa yang mampu bersedekah dengan seluruh persendiannya, wahai Rasulullah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan, “Menanam bekas ludah di masjid atau menyingkirkan gangguan dari jalanan. Jika engkau tidak mampu melakukan seperti itu, maka cukup lakukan shalat Dhuha dua raka’at.” (HR. Ahmad, 5: 354. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih ligoirohi)

Imam Nawawi mengatakan,  “Hadits dari Abu Dzar adalah dalil yang menunjukkan keutamaan yang sangat besar dari shalat Dhuha dan menunjukkannya kedudukannya yang mulia. Dan shalat Dhuha bisa cukup dengan dua raka’at.” (Syarh Shahih Muslim, 5: 234)

Asy Syaukani mengatakan,  “Hadits Abu Dzar dan hadits Buraidah menunjukkan keutamaan yang luar biasa dan kedudukan yang mulia dari Shalat Dhuha. Hal ini pula yang menunjukkan semakin disyari’atkannya shalat tersebut. Dua raka’at shalat Dhuha sudah mencukupi sedekah dengan 360 persendian. Jika memang demikian, sudah sepantasnya shalat ini dapat dikerjakan rutin dan terus menerus.” (Nailul Author, 3: 77).

Kelima: Shalat Isyroq

Shalat isyroq termasuk bagian dari shalat Dhuha yang dikerjakan di awal waktu. Waktunya dimulai dari matahari setinggi tombak (15 menit setelah matahari terbit) setelah sebelumnya berdiam diri di masjid selepas shalat Shubuh berjama’ah. Dari Abu Umamah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَلَّى صَلاةَ الصُّبْحِ فِي مَسْجِدِ جَمَاعَةٍ يَثْبُتُ فِيهِ حَتَّى يُصَلِّيَ سُبْحَةَ الضُّحَى، كَانَ كَأَجْرِ حَاجٍّ، أَوْ مُعْتَمِرٍ تَامًّا حَجَّتُهُ وَعُمْرَتُهُ

Barangsiapa yang mengerjakan shalat shubuh dengan berjama’ah di masjid, lalu dia tetap berdiam di masjid sampai melaksanakan shalat sunnah Dhuha, maka ia seperti mendapat pahala orang yang berhaji atau berumroh secara sempurna.” (HR. Thobroni. Syaikh Al Albani dalam Shahih Targhib 469 mengatakan bahwa hadits ini shahih ligoirihi/ shahih dilihat dari jalur lainnya)

Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِى جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ ». قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ »

Barangsiapa yang melaksanakan shalat shubuh secara berjama’ah lalu ia duduk sambil berdzikir pada Allah hingga matahari terbit, kemudian ia melaksanakan shalat dua raka’at, maka ia seperti memperoleh pahala haji dan umroh.” Beliau pun bersabda, “Pahala yang sempurna, sempurna dan sempurna.” (HR. Tirmidzi no. 586. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

 

– Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna –

Puasa Sunat

Macam-Macam Puasa Sunat

Pada kesempatan kali ini, penulis mencoba mengangkat pembahasan puasa sunnah yang bisa diamalkan sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga bermanfaat.

Sungguh, puasa adalah amalan yang sangat utama. Di antara ganjaran puasa disebutkan dalam hadits berikut,

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ. وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ

Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi” (HR. Muslim no. 1151).

Adapun puasa sunnah adalah amalan yang dapat melengkapi kekurangan amalan wajib. Selain itu pula puasa sunnah dapat meningkatkan derajat seseorang menjadi wali Allah yang terdepan (as saabiqun al muqorrobun). Lewat amalan sunnah inilah seseorang akan mudah mendapatkan cinta Allah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi,

وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ

Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya” (HR. Bukhari no. 2506).

  1. 1.      Puasa Senin Kamis

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تُعْرَضُ الأَعْمَالُ يَوْمَ الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِى وَأَنَا صَائِمٌ

Berbagai amalan dihadapkan (pada Allah) pada hari Senin dan Kamis, maka aku suka jika amalanku dihadapkan sedangkan aku sedang berpuasa.” (HR. Tirmidzi no. 747. Shahih dilihat dari jalur lainnya).

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan,

إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَتَحَرَّى صِيَامَ الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menaruh pilihan berpuasa pada hari senin dan kamis.” (HR. An Nasai no. 2360 dan Ibnu Majah no. 1739. Shahih)

  1. 2.      Puasa Tiga Hari Setiap Bulan Hijriyah

Dianjurkan berpuasa tiga hari setiap bulannya, pada hari apa saja.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

أَوْصَانِى خَلِيلِى بِثَلاَثٍ لاَ أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَصَلاَةِ الضُّحَى ، وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ

Kekasihku (yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) mewasiatkan padaku tiga nasehat yang aku tidak meninggalkannya hingga aku mati: [1] berpuasa tiga hari setiap bulannya, [2] mengerjakan shalat Dhuha, [3] mengerjakan shalat witir sebelum tidur.”( HR. Bukhari no. 1178)

Mu’adzah bertanya pada ‘Aisyah,

أَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ قَالَتْ نَعَمْ. قُلْتُ مِنْ أَيِّهِ كَانَ يَصُومُ قَالَتْ كَانَ لاَ يُبَالِى مِنْ أَيِّهِ صَامَ. قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa tiga hari setiap bulannya?” ‘Aisyah menjawab, “Iya.” Mu’adzah lalu bertanya, “Pada hari apa beliau melakukan puasa tersebut?” ‘Aisyah menjawab, “Beliau tidak peduli pada hari apa beliau puasa (artinya semau beliau).” (HR. Tirmidzi no. 763 dan Ibnu Majah no. 1709. Shahih)

Namun, hari yang utama untuk berpuasa adalah pada hari ke-13, 14, dan 15 dari bulan Hijriyah yang dikenal dengan ayyamul biid. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُفْطِرُ أَيَّامَ الْبِيضِ فِي حَضَرٍ وَلَا سَفَرٍ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada ayyamul biidh ketika tidak bepergian maupun ketika bersafar.” (HR. An Nasai no. 2345. Hasan).

Dari Abu Dzar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya,

يَا أَبَا ذَرٍّ إِذَا صُمْتَ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَصُمْ ثَلاَثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ

Jika engkau ingin berpuasa tiga hari setiap bulannya, maka berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15 (dari bulan Hijriyah).” (HR. Tirmidzi no. 761 dan An Nasai no. 2424. Hasan).

  1. 3.      Puasa Daud

Cara melakukan puasa Daud adalah sehari berpuasa dan sehari tidak. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أحَبُّ الصِّيَامِ إلى اللهِ صِيَامُ دَاوُدَ، وَأحَبُّ الصَّلاةِ إِلَى اللهِ صَلاةُ دَاوُدَ: كَانَ يَنَامُ نِصْفَ الليل، وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ، وَكَانَ يُفْطِرُ يَوْمًا وَيَصُوْمُ يَوْمًا

Puasa yang paling disukai oleh Allah adalah puasa Nabi Daud. Shalat yang paling disukai Allah adalah Shalat Nabi Daud. Beliau biasa tidur separuh malam, dan bangun pada sepertiganya, dan tidur pada seperenamnya. Beliau biasa berbuka sehari dan berpuasa sehari.” (HR. Bukhari no. 3420 dan Muslim no. 1159).

Dari ‘Abdullah bin ‘Amru radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

أُخْبِرَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنِّى أَقُولُ وَاللَّهِ لأَصُومَنَّ النَّهَارَ وَلأَقُومَنَّ اللَّيْلَ مَا عِشْتُ . فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « أَنْتَ الَّذِى تَقُولُ وَاللَّهِ لأَصُومَنَّ النَّهَارَ وَلأَقُومَنَّ اللَّيْلَ مَا عِشْتُ » قُلْتُ قَدْ قُلْتُهُ . قَالَ « إِنَّكَ لاَ تَسْتَطِيعُ ذَلِكَ ، فَصُمْ وَأَفْطِرْ ، وَقُمْ وَنَمْ ، وَصُمْ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ ، فَإِنَّ الْحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا ، وَذَلِكَ مِثْلُ صِيَامِ الدَّهْرِ » . فَقُلْتُ إِنِّى أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ . قَالَ « فَصُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمَيْنِ » . قَالَ قُلْتُ إِنِّى أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ . قَالَ « فَصُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمًا ، وَذَلِكَ صِيَامُ دَاوُدَ ، وَهْوَ عَدْلُ الصِّيَامِ » . قُلْتُ إِنِّى أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ . قَالَ « لاَ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ » .

Disampaikan kabar kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa aku berkata; “Demi Allah, sungguh aku akan berpuasa sepanjang hari dan sungguh aku akan shalat malam sepanjang hidupku.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya (‘Abdullah bin ‘Amru): “Benarkah kamu yang berkata; “Sungguh aku akan berpuasa sepanjang hari dan sungguh aku pasti akan shalat malam sepanjang hidupku?“. Kujawab; “Demi bapak dan ibuku sebagai tebusannya, sungguh aku memang telah mengatakannya“. Maka Beliau berkata: “Sungguh kamu pasti tidak akan sanggup melaksanakannya. Akan tetapi berpuasalah dan berbukalah, shalat malam dan tidurlah dan berpuasalah selama tiga hari dalam setiap bulan karena setiap kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kebaikan yang serupa dan itu seperti puasa sepanjang tahun.” Aku katakan; “Sungguh aku mampu lebih dari itu, wahai Rasulullah“. Beliau berkata: “Kalau begitu puasalah sehari dan berbukalah selama dua hari”. Aku katakan lagi: “Sungguh aku mampu yang lebih dari itu“. Beliau berkata: “Kalau begitu puasalah sehari dan berbukalah sehari, yang demikian itu adalah puasa Nabi Allah Daud ‘alaihi salam yang merupakan puasa yang paling utama“. Aku katakan lagi: “Sungguh aku mampu yang lebih dari itu“. Maka beliau bersabda: “Tidak ada puasa yang lebih utama dari itu“. (HR. Bukhari no. 3418 dan Muslim no. 1159).

Ibnu Hazm mengatakan, “Hadits di atas menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari melakukan puasa lebih dari puasa Daud yaitu sehari puasa sehari tidak.”

Ibnul Qayyim Al Jauziyah mengatakan, “Puasa seperti puasa Daud, sehari berpuasa sehari tidak adalah lebih afdhol dari puasa yang dilakukan terus menerus (setiap harinya).”

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Puasa Daud sebaiknya hanya dilakukan oleh orang yang mampu dan tidak merasa sulit ketika melakukannya. Jangan sampai ia melakukan puasa ini sampai membuatnya meninggalkan amalan yang disyari’atkan lainnya. Begitu pula jangan sampai puasa ini membuatnya terhalangi untuk belajar ilmu agama. Karena ingat, di samping puasa ini masih ada ibadah lainnya yang mesti dilakukan. Jika banyak melakukan puasa malah membuat jadi lemas, maka sudah sepantasnya tidak memperbanyak puasa. … Wallahul Muwaffiq.”

  1. 4.      Puasa di Bulan Sya’ban

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,

لَمْ يَكُنِ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak biasa berpuasa pada satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.” (HR. Bukhari no. 1970 dan Muslim no. 1156).

Dalam lafazh Muslim, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,

كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya. Namun beliau berpuasa hanya sedikit hari saja.” (HR. Muslim no. 1156).

Yang dimaksud di sini adalah berpuasa pada mayoritas harinya (bukan seluruh harinya) sebagaimana diterangkan oleh Az Zain ibnul Munir. Para ulama berkata bahwa Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyempurnakan berpuasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan agar tidak disangka puasa selain Ramadhan adalah wajib.

  1. 5.      Puasa Enam Hari di Bulan Syawal

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164).

  1. 6.      Puasa di Awal Dzulhijah

Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ ». يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ « وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ ».

Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.” (HR. Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no. 1968. Shahih).

Keutamaan sepuluh hari awal Dzulhijah berlaku untuk amalan apa saja, tidak terbatas pada amalan tertentu, sehingga amalan tersebut bisa shalat, sedekah, membaca Al Qur’an, dan amalan sholih lainnya. Di antara amalan yang dianjurkan di awal Dzulhijah adalah amalan puasa.

Dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya[10], …” (HR. Abu Daud no. 2437. Shahih).

  1. 7.      Puasa ‘Arofah

Puasa ‘Arofah ini dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah. Abu Qotadah Al Anshoriy berkata,

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa ‘Arofah? Beliau menjawab, ”Puasa ‘Arofah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyura? Beliau menjawab, ”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu” (HR. Muslim no. 1162).

Sedangkan untuk orang yang berhaji tidak dianjurkan melaksanakan puasa ‘Arofah. Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أَفْطَرَ بِعَرَفَةَ وَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ أُمُّ الْفَضْلِ بِلَبَنٍ فَشَرِبَ

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa ketika di Arofah. Ketika itu beliau disuguhkan minuman susu, beliau pun meminumnya.” (HR. Tirmidzi no. 750. Hasan shahih).

  1. 8.      Puasa ‘Asyura

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ

Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah – Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163). An Nawawi -rahimahullah- menjelaskan, “Hadits ini merupakan penegasan bahwa sebaik-baik bulan untuk berpuasa adalah pada bulan Muharram”.

Keutamaan puasa ‘Asyura sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Qotadah di atas. Puasa ‘Asyura dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram. Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertekad  di akhir umurnya untuk melaksanakan puasa ‘Asyura tidak bersendirian, namun diikutsertakan dengan puasa pada hari sebelumnya (9 Muharram). Tujuannya adalah untuk menyelisihi puasa ‘Asyura yang dilakukan oleh Ahlul Kitab.

Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma berkata bahwa ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallammelakukan puasa hari ’Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya, pada saat itu ada yang berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ ». قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.

Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani.” Lantas beliau mengatakan, “Apabila tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)- kita akan berpuasa pula pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas mengatakan, “Belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sudah keburu meninggal dunia.” (HR. Muslim no. 1134).

Ketentuan dalam Melakukan Puasa Sunnah

Pertama: Boleh berniat puasa sunnah setelah terbit fajar jika belum makan, minum dan selama tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Berbeda dengan puasa wajib maka niatnya harus dilakukan sebelum fajar.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

دَخَلَ عَلَىَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ شَىْءٌ ». فَقُلْنَا لاَ. قَالَ « فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ ». ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِىَ لَنَا حَيْسٌ. فَقَالَ « أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ». فَأَكَلَ.

Pada suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya, “Apakah kamu mempunyai makanan?” Kami menjawab, “Tidak ada.” Beliau berkata, “Kalau begitu, saya akan berpuasa.” Kemudian beliau datang lagi pada hari yang lain dan kami berkata, “Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa Hais (makanan yang terbuat dari kura, samin dan keju).” Maka beliau pun berkata, “Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku berpuasa.” (HR. Muslim no. 1154). An Nawawi memberi judul dalam Shahih Muslim, “Bab: Bolehnya melakukan puasa sunnah dengan niat di siang hari sebelum waktu zawal (bergesernya matahari ke barat) dan bolehnya membatalkan puasa sunnah meskipun tanpa udzur. ”

Kedua: Boleh menyempurnakan atau membatalkan puasa sunnah. Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah diatas. Puasa sunnah merupakan pilihan bagi seseorang ketika ia ingin memulainya, begitu pula ketika ia ingin meneruskan puasanya. Inilah pendapat dari sekelompok sahabat, pendapat Imam Ahmad, Ishaq, dan selainnya. Akan tetapi mereka semua, termasuk juga Imam Asy Syafi’i bersepakat bahwa disunnahkan untuk tetap menyempurnakan puasa tersebut.

Ketiga: Seorang istri tidak boleh berpuasa sunnah sedangkan suaminya bersamanya kecuali dengan seizin suaminya. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

لاَ تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

Janganlah seorang wanita berpuasa sedangkan suaminya ada kecuali dengan seizinnya.” (HR. Bukhari no. 5192 dan Muslim no. 1026).

An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah puasa sunnah yang tidak terikat dengan waktu tertentu. Larangan yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah larangan haram, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama Syafi’iyah. Sebab pengharaman tersebut karena suami memiliki hak untuk bersenang-senang dengan istrinya setiap harinya. Hak suami ini wajib ditunaikan dengan segera oleh istri. Dan tidak bisa hak tersebut terhalang dipenuhi gara-gara si istri melakukan puasa sunnah atau puasa wajib yang sebenarnya bisa diakhirkan.” Beliau rahimahullah menjelaskan pula, “Adapun jika si suami bersafar, maka si istri boleh berpuasa. Karena ketika suami tidak ada di sisi istri, ia tidak mungkin bisa bersenang-senang dengannya.”

Semoga Allah beri taufik untuk beramal sholih.

Motivasi Belajar

MOTIVASI BELAJAR

MOTIVASI BELAJAR

A.     Pengertian Motivasi Belajar

Motivasi belajar adalah keseluruhan daya penggerak dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subyek belajar itu dapat tercapai (Sardiman, 1986: 75).

Demikian dalam belajar, prestasi siswa akan lebih baik bila siswa memiliki dorongan motivasi orang tua untuk berhasil lebih besar dalam diri siswa itu. Sebab ada kecenderungan bahwa seseorang yang memiliki kecerdasan tinggi mungkin akan gagal berprestasi karena kurang adanya motivasi dari orang tua.

 B.      Fungsi Motivasi Belajar

Motivasi dalam belajar sangat penting artinya untuk mencapai tujuan proses belajar mengajar yang diharapkan, sehingga motivasi siswa dalam belajar perlu dibangun.

Menurut Nasution (1982:77) motivasi memiliki tiga fungsi yaitu:

  1. Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak motor yang melepas energi.
  2. Menentukan arah perbuatan , yakni kearah tujuan yang hendak dicapai.
  3. Menyeleksi perbuatan yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut.

Seseorang melakukan sesuatu usaha karena adanya motivasi. Motivasi yang lebih baik dalam beajar akan menunjukkan hasil yang baik, dengan kata lain bahwa dengan usaha yang tekun yang didasari adanya motivasi, akan dapat melahirkan prestasi yang baik.

McClelland dan Atkinson dalam Sri Esti (1989: 161) mengemukakan bahwa motivasi yang paling penting untuk psikologis pendidikan adalah motivasi berprestasi, dimana seseorang cenderung untuk berjuang mencapai sukses atau memilih kegiatan yang berorientasi untuk tujuan sukses atau gagal. Intensitas motivasi siswa akan sangat menentukan tingkat pencapaian prestasi belajar siswa tersebut.

C.     Jenis-jenis Motivasi Belajar

Secara umum motivasi dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu (Prayitno, 1989: 10).

1.    Motivasi Instrinsik

Menurut Priyitno (1989: 11) motivasi  intrinsik adalah keinginan bertindak yang disebabkan oleh faktor pendorong dari dalam diri (internal) individu. Tingkah laku individu itu terjadi tanpa dipengaruhi oleh faktor-faktor dari lingkungan. Tetapi individu bertingkah laku karena mendapatkan energi dan pengaruh tingkah laku dari dalam dirinya sendiri yang tidak bisa dilihat dari luar.

Thornburgh dalam Priyitno (1989: 10) berpendapat bahwa motivasi intrinsik adalah keinginan bertindak yang disebabkan faktor pendorong dari dalam diri sendiri. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi intrinsik adalah dorongan dari dalam individu, dimana dorongan tersebut menggerakkan individu atau subyek untuk memenuhi kebutuhan,tanpa perlu dorongan dari luar.

2.    Motivasi ekstrinsik

Sardiman (1990: 90) memberikan definisi motivasi ekstrisik sebagai motif-motif yang menjadi aktif dan berfungsi karena adanya perangsang dari luar. Motivasi ekstrinsik dapat dikatakan lebih banyak dikarenakan pengaruh dari luar yang relatif berubah-ubah.

Motivasi ekstrinsik dapat juga di katakan sebagai bentuk motivasi yang di dalamnya aktivitas belajar di mulai dan diteruskan berdasarkan dorongan dari luar yang tidak secara mutlak berkaitan dengan aktivitas belajar (Sardiman, 1990: 90).

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang yang bermotivasi ekstrinsik melakukan sesuatu kegiatan bukan karena ingin mengetahui sesuatu, tetapi ingin mendapatkan pujian, hadiah dan sebagainya.

 D.     Cara Membangkitkan Motivasi Belajar

Terdapat beberapa cara untuk membangkitkan motivasi belajar pada diri individu siswa dalam melakukan aktivitas belajarnya. Menurut  Nasution (1982:81) cara membangkitkan motivasi belajar antara lain:

1.    Memberi Angka

Banyak siswa belajar yang utama justru untuk mencapai angka yang baik, sehingga biasanya yang dikejar itu adalah angka atau nilai. Oleh karena itu langkah yang dapat ditempuh guru adalah bagaimana cara memberi angka-angka dapat dikaitkan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap pengetahuan.

2.    Meberi Hadiah

Hadiah dapat membangkitkan motivasi belajar seseorang jika ia memiliki harapan untuk memperolehnya, misalnya: seorang siswa tersebut mendapat beasiswa, maka kemungkinan siswa tersebut akan giat melakukan kegiatan belajar, dengan kata lain ia memiliki motivasi belajar agar dapat mempertahankan prestasi.

3.    Hasrat Untuk Belajar

Hasil belajar akan lebih baik apabila pada siswa tersebut ada hasrat atau tekad untuk mempelajari sesuatu.

4.    Mengetahui Hasil

Dengan mengetahui hasil belajar yang selama ini dikerjakan, maka akan bisa menunjukan motivasi siswa untuk belajar lebih giat, kerana hasil belajar merupakan feedback (umpan balik) bagi siswa untuk mengetahui kemampuan dalam belajar.

5.    Memberikan Pujian

Pujian sebagai akibat dari pekerjaan yang diselesaikan denga baik, merupakan motivasi yang baik pula.

6.    Menumbuhkan Minat Belajar

Siswa akan merasa senang dan aman dalam belajar apabila disertai dengan minat  belajar apabila disertai dengan minat belajar. Dan hai ini tak lepas dari minat siswa itu dalam bidang studi yang ditempuhnya.

7.    Suasana yang Menyenangkan

Siswa akan merasa aman dan senag dalam belajar apabila disertai denga suasana yang menyenangkan baik proses belajar maupun situasi yang dapat menumbuhkan motivasi belajar.

 

KEPUSTAKAAN

 

Esti, Sri.1989 .Psikologi Pendidikan. Jakarta: Grafindo

Nasution. 1982. Teknologi Pendidikan. Bandung: Bumi Aksara

Priyitno, Elida. 1989. Motivasi Dalam Belajar. Jakarta: P2LPTK

Sardiman, A,M. 1990. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali.

http://www.kajianpustaka.com/2013/04/motivasi-belajar.html#ixzz2hIFiGEQy